Pengorbanan Seorang Istri

"Pernahkah kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"

kata-kata itu selalu ia ucapkan pada kekasihnya itu. Gadis itu benar-benar mencintai seseorang yang sepantasnya ia pangil paman. Begitu cintanya ia kepada laki-laki itu sampai ia rela lakukan apa saja asal bisa bersama denganya. Tidak perduli dengan apapun.

"Aku mencintaimu, tapi maaf tidak bisa menikahimu."

Entahlah. Berkali-kali laki-laki itu mengucapkan kata cinta tetap saja banyak keraguan didalam hati gadis itu. Dalam benaknya hanya terpikir kalau laki-laki itu hanya ingi mempermaninkanya.

"Kau tahu aku milik orang lain, tapi mengapa tetap memaksakan hubungan ini?"

gadis kecil itu tidak pernah bisa menjawab, mengapa ia selalu memaksakan hubungan yang sudah jelas akhirnya. hanya sebuah kalimat kecil yang selalu menyertai jawabanya. "Karena aku cinta."
Hari dimana mereka harus berpisah semakin dekat. hari itu begitu menyakitkan untuk gadis itu. ia selalu memohon pada kekasihnya agar selalu menemaninya di hari-hari terakhirnya bersama kekasihnya itu.

"Temani aku ya, tiga hari ini saja. setelah itu semuanya berakhir."

kekasihnya tidak pernah menjawab iya ataupun tidak. hanya seperti mengantungkan harapan pada gadis itu.

"Kalau bukan karena cinta." gadis itu mulai meneteskan air mata "Temanilah aku karena kau kasihan padaku."

Tapi entah mengapa kekasihnya tetap saja tidak bisa menemaninya, bahakan hingga hari terakhir dia berada disana kekasihnya tetap diam dan tidak menemuinya.

"Mengapa kau seperti ini kepadaku? apakah aku benar-benar tidak ada artinya untukmu. apakah tidak ada sedikitpun cinta untukku. mengapa kau tidak mau menemuiku. padahal esok kita akan berpisah."

Entah sudah berapa banyak air mata yang telah ia buang untuk kekasihnya itu. ia merasa saat ini cintanya pada laki-laki itu benar-benar tidak ada artinya. sedikitpun laki-laki itu tidak perduli dengan perasaanya.

Kini ia hanya tinggal menghitung jam sampai pagi menjelang dan semuanya berakhir.

"Tuhan, mengapa aku begitu tidak ikhlas kehilangan nya. Padahal Engkau sudah memperingatkanku untuk jangan mencintainya. Bahkan akupun tahu dia takan pernah menjadi milikku." Jarum panjang pada jam dinding itu masih terus berputar. dan entah mengapa lajunya semakin cepat. Beberapa saat kemudian handphone gadis itu berdering.

"Aku didepan rumahmu, keluarlah."

gadis itu berlari kencang keluar rumah, berharap kali ini benar-benar kekasihnya yang ada diluar sana.

Ya, memang dia. berdiri menunduk didepan mobilnya. entahlah, wajahnya tak begitu nampak. apaka dia sedih atau senang gadis itu tidak pernah tahu.

Jam menunjukan pukul 11.45 pm. Malam ini terasa begitu dingin, tapi gadis itu hanya berlari pergi mengejar kekasihnya hanya dengan sandal jepit dan celana pendek serta baju tipisnya.

"Kau tidak ada baju lain?"

gadis itu hanya menggeleng.

"Kenapa tidak pakai jaket?"

"Semuanya sudah kumasukkan dalam koper."

Dia masih tetap diam. tidak banyak kata yang dia ucapkan malam itu.

"Kau tidak mau memelukku?" gadis itu menatap kekasihnya pelan.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Tidak ada."

"Kau tidak mencintaiku?"

"Aku cinta padamu."

"Tapi mengapa kau terus menyakitiku?"

"Karena kau juga menyakitiku."

"Aku, menyakitimu? apa, apa yang membuatmu tersakiti."

"Sudahlah, kita ganti topik saja!!" wajah laki-laki itu tampak sedikit marah dan kesal.

"Kau tidak pernah menyayangiku. kau lebih suka melihatku menangis kan." air mata itu sudah terlalu sering dibendung. air matanya sudah tidak tertahan lagi. semua yang ia rasakan pada kekasihnya ia katakan begitu saja tanpa perduli dengan apapun.

"Kau senang aku pergi, karena kau bisa dengan mudah dapatkan pengantiku."

semuanya, semuanya sudah diucapkan. bahkan gadis itupun lupa apa yang tadi ia ucapkan pada kekasihnya.

"Ya semuanya benar!!" laki-laki itu tampak begitu marah. " Kau benar, aku tidak mencintaimu, tidak menyayangimu, aku hanya memanfaatkanmu, dan ya semuanya benar bahwa aku hanya orang jahat. kau puas!!!"

kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan gadis itu tanpa seutas senyumpun untuknya. Matahari mulai nampak. koper-koper itu tampak begitu besar dan berat. Semua kawan-kawannya sudah bersiap didepan rumah hanya tiggal gadis itu.

"Datanglah sebentar saja kerumahku. Sebentar saja." air mata itu terus mengalir. "Kumohon."

"Aku tidak bisa. aku harus bekerja."

"Sebentar saja."

kekasihnya tidak banyak bicara dan segera mematikan teleponya.

Sesaat kemudian sebuah pesan singkat masuk ke handphone nya. Maaf aku tidak bisa datang. Pulanglah. Suatu hari nanti aku pasti akan menemuimu. aku mencintaimu.

Kenapa begitu. kenapa laki-laki itu begitu jahat pada gadis itu.

yang bisa dilakukan gadis itu hanyalah memohon agar kekasihnya bisa datang.

tapi tetap, kekasihnya tidak pernah datang.

"Tuhan, aku benar-benar tidak ikhlas dengan semua ini. kalau Kau sayang padaku, Tuhan. tunjukan padaku kalau dia benar-benar mencintaiku. Perlihatkan padaku kalau ada aku dihatinya."

Bus itu melaju cepat menuju Airport, hinga Doaaaaaaarrrrrrr.... sebuah kecelakan besar menumbangkan bus itu.

4 dari 13 orang penumpangnya mengalama cedera berat, termasuk gadis itu. 7 buah mobil ambulan datang dengan cepat dan mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat.

gadis itu tampak tidak merasakan apa-apa padahal lukanyalah yang paling berat. dia hanya terbaring diam melihat keadaan disekitarnya. hinga seseorang datang dengan berlari dan segera memeluknya.

"Apa yang terjadi padamu?"

gadis itu tetap dia, kini dia bisa merasakan lukanya, begitu sakit, pedih dan sangat menyiksa.

"Dengarkan aku. semuanya akan baik-baik saja. dokter akan menolongmu."

wajah laki-laki itu tampak begitu khawatir.

"Aku, tidak ingin pergi." suara gadis itu terbata-bata "Tidak ingin meninggalakanmu."

"Kau tidak akan pernah meningalkanku dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

"Sa-kit... disini sakit." gadis itu mengengam dadanya kencang, seraya mengisyaratkan sesuatu.

"Semuanya akan baik-baik saja. aku tidak akan meningalkanmu."

gadis itu mulai tersenyum tipis.

"Kau mau kita berpisah kan, sekarang kita akan berpisah. Tuhan tidak mau kita bersama. Dia ingin aku menemaniNya. karena kau tidak bisa menemaniku." Senyum gadis itu semakin melebar tapi wajahnya masih tampak kesakitan. "Kau mau aku pulang kan, aku akan pulang tapi kau tidak bisa menemuiku lagi."

laki-laki itu hanya terdiam. matanya mulai memerah.entah apa yang kini bergejolak dihatinya. begitu pedih dan menyakit.

"Sayang, Pernahkah Kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?"

tubuh gadis ini begitu dingin. denyut nadi dan detak jantungnya mulai tak terdengar. darah segar masih terus mengucur dari hidung dan kepalanya. dan senyum manisnya dibibirnya menemani matanya yang kini mulai tertutup.

Entahlah harus berapa kali kukatakan bahwa aku mencintaimu.
Entahlah apa yang harus kulakukan agar kau percaya aku menyayangimu.
Kau tahu kita takkan pernah bisa bersama, tapi kau terus memaksakan semuanya.
Kau tahu aku tidak akan bisa melihatmu pergi tapi kau terus memaksaku untuk datang.
Sekarang kau benar-benar meningalkanku dan berkata bahwa aku bahagia tanpamu.
Penahkah aku mencinkaimu seperti kau mencitaiku?

Aku pernah mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu dan cintaku lebih besar dari cintamu kepadaku.

Related Posts:

Maafkan Aku Suamiku

Suami saya adalah seorang Freelancer di bidang IT, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan- alasan saya   mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan   halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak   yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan.Rasa sensitif- nya kurang. Dan ketidak mampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal. Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa ?",   tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan," jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan   komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.   Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?

Dan akhirnya suami saya bertanya," Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu ?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya:
Seandainya, saya   menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita berdua tahu   jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya ?"

Dia termenung dan akhirnya berkata,"Saya akan  memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya   langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan.



"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan  saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.
"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ' teman baik kamu' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk   memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya   selalu kuatir kamu akan menjadi aneh'.

Saya harus membelikan sesuatu   yang dapat menghibur kamu di rumah at au meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi,terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu.

Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah.

Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak   sanggup melihat air mata kamu mengalir menangisi kematian   saya."

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu   lebih dari saya mencintai kamu.Untuk  itu Sayang, jika semua yang telah   diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tida k cukup buat kamu,saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain   yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk
terus membacanya.

"Dan   sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas   dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah   ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana   menunggu jawaban kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini,Sayang,biarkan saya masuk untuk membereskan barang- barang saya, dan saya   tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu   bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang coklat dan ice cream kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia tidak dapat   memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan   adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Related Posts:

Ayah Berhentilah Merokok..Ku Mohon.!!

Ini adalah sepenggal episode hidupku bersama Ayah. Mungkin ayahku takkan pernah membaca tulisan ini karena ayahku tak kenal facebook. Aku harap tulisan ini jadi prasasti cintaku pada ayah dan cinta ayah kepadaku.

Ayahku adalah lelaki penyayang. Ia tak tega melihat makhluk apapun tersakiti. Membunuh seekor semutpun ayahku tak tega. Beberapa kali halaman rumah didatangi ular. Bukannya membunuh ular tersebut, Ayah malah mengobrol dengan ular tersebut sambil menunjukkan jalan keluar dari halaman rumah. Begitu juga dengan tikus yang kadang datang mengganggu. Ayah tak pernah mau memasang perangkap atau meracun. Kasihan, kata ayah. Waktu Ibu sedang mengandung aku, Ayah pernah menolong seekor kucing yang hamil tua dan sedang mencari tempat untuk melahirkan. Kata ibuku, sejak itulah di rumah nenekku banyak kucing.
 
Ayah berhati lembut tapi kalau berkata-kata kadang agak kasar, apalagi bagi orang yang belum mengenalnya. Waktu kecil aku sangat segan terhadapnya. Ayah sangat disiplin, rapi, teliti. Konon, waktu Ayah masih bujang, kamar ayah bisa dijilat saking bersihnya. Sebelum masuk kamar, kami terbiasa cuci kaki. Aku dan adikku tak pernah membawa mainan ke atas tempat tidur. Kalau sampai ada mainan di atas tempat tidur, artinya kita sudah bosan dengan mainan tersebut alias akan dibuang ayah.

Ayah tak suka jalan-jalan. Hobi Ayah adalah membaca. Hobi ini menular pada kami, anak-anaknya. Kalaupun Ayah mengajak kami jalan-jalan, maka tempat yang dituju adalah toko buku, pameran buku, ya tidak jauh-jauh dari buku. Kalau aku, adikku dan Ayah sudah memegang buku, sepertinya tak ada yang menarik lagi di dunia ini.

Meski tegas dan disiplin – kadang terkesan otoriter, Ayah sebenarnya demokratis. Ketika aku masih duduk di bangku sekolah, hampir tiap malam kami berdiskusi tentang apa saja. Ayah tak gengsi mendengarkan pendapat kami. Satu hal yang tak bisa disepakati Ayah, yaitu masalah rokok (dulu ayahku perokok). Tiap kami menasehati ayah agar berhenti merokok, kami selalu kalah argumen. Macam-macam alasan Ayah. Satu yang menurutku paling aneh, yaitu ayah merokok karena setia kawan! Kata Ayah, sungguh tidak enak kalau sedang berkumpul dengan teman-teman yang semuanya merokok, lalu kita tidak merokok. Rasa gimana…gitu. Aku hanya geleng-geleng kepala.

Ayah sudah sering dinasehati oleh dokter agar berhenti merokok karena ayah sering mengalami serangan sakit dada mendadak. Waktu itu, aku belum tahu teori tentang perokok pasif yang justru lebih menderita daripada perokok aktif. Yang kutahu hanyalah ayahku perokok, ayahku sakit dada, ayahku harus berhenti merokok. Aku belum tahu penjelasan ilmiah tentang rokok semisal kandungan nikotin dan kawan-kawannya itu. Aku juga belum membaca referensi tentang cara berhenti merokok dan cara menolong orang agar bisa berhenti merokok. Aku juga belum tertarik untuk mempelajari hukum merokok menurut agama. Aku pun belum pernah melakukan hitung-hitungan andai uang rokok ayahku dikumpulkan untukku saja. Aku belum terpikir semua itu. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah aku mencintai ayah, aku tak mau ayahku mati gara-gara rokok.

Lalu sore itu, menjelang azan maghrib berkumandang seperti biasa, kami ngobrol-ngobrol bersama Ayah. Aku berkata, “Ayah, seandainya aku meninggal, aku meminta satu permintaan terakhir, apakah ayah akan mengabulkan?” tanyaku.

“Memangnya kau mau minta apa?” tanya Ayah.

“Aku minta, Ayah berhentilah merokok… Ya, Yah. Jangan lupa, ini pesanku kalau aku mati duluan” Entah darimana aku dapat kalimat tersebut. Yang jelas, sebagai anak-anak pada saat itu aku sudah kehabisan bahan untuk menasehati Ayah.

Subhanallah. Sungguh ajaib, sejak itu, Ayahku benar-benar berhenti merokok. Hari ini belasan tahun telah berlalu, tak jarang ibuku mengungkit cerita lama tersebut sambil berkata, “Tuh, Ayahmu tak mau mendengarkan kata-kata Ibu, tapi mendengarkan anak-anaknya mau aja”

Aku suka tersenyum sendiri jika mengingat peristiwa tersebut. Apakah sebenarnya yang membuat ayahku berhenti merokok? Aku tak pernah menanyakannya, dan aku tak ingin bertanya. Biarlah aku merasa senang dan bangga dengan satu simpulan yang kuukir sendiri bahwa ayahku berhenti merokok karena ia tahu aku mencintainya dan karena ia pun mencintai kami, anak-anaknya.

Related Posts:

Tangisan Ibu

15 tahun yang lalu, aku terpaksa pergi meninggalkan rumah, meninggalkan mereka yang aku cintai, meninggalkan anak dan suamiku. Dengan hati yang berat aku pergi merantau ke negeri singapore, disanalah aku mencari nafkah dan memulai kehidupan yang baru.

Sangat sulit ku rasakan hidup tanpa keluargaku disini, aku hidup sendiri, tak seorang pun yang aku kenal disini, tapi aku harus semangat, mengingat anak-anakku yang butuh banyak uang untuk biaya kelangsungan sekolah mereka, aku ingin anakku punya pendidikan yang layak, sehingga mereka bisa berkarir dan menggapai cita-cita mereka, dengan penghasilan suamiku yang hanya sebagai penarik becak, kami tidak dapat memberikan pendidikan sampai ke jenjang universitas ternama disana, karena itulah aku harus membantu suamiku untuk mencari uang.

Setelah aku bekerja disini, ku jalani dengan ikhlas pekerjaanku, awalnya berat, tapi tiap kali ku ingat mereka yang jauh disana, semangatku bangkit kembali. Hari berganti minggu, bulan dan tahun, ya tak terasa ternyata sudah 5 tahun aku bekerja disini, aku merasa bangga, karena aku yakin anakku yakub, anak pertamaku kini sudah lulus sekolah, dan dia akan masuk ke universitas yang dia inginkan, sementara yani, kini dia memasuki sekolah SMA.

Setiap bulannya aku selalu mengirimkan separuh gajiku ke rekening suamiku, untuk biaya sekolah anak-anak disana, dan sekali-sekali, jika ada waktu senggang, aku selalu berkirim surat ke mereka, tapi hatiku sangat bingung, entah kenapa 1 kalipun mereka tak pernah membalas surat dariku, tapi hal itu tidak membuatku putus semangat untuk mengirimkan uang ke mereka.

Tiba-tiba aku bertemu dengan tetanggaku, dia baru saja diterima sebagai karyawan baru di perusahaan tempat aku bekerja, aku sangat terkejut dan aku sangat senang, akhirnya aku bisa sedikit bertanya kepadanya tentang keadaan anak dan suamiku di kampung sana.

"Hai mirna, gimana kabarmu? Aku tak menyangka, kita akan bertemu disini." Ucapku.

"Hai dinda, aku juga terkejut, ternyata kau ada disini rupanya, kenapa kau tak pernah ada kabar? Selama ini kau kemana aja, kasihan anak-anakmu, semenjak kepergianmu mereka terus mencarimu, sampai mereka bosan sendiri, dan sekarang sudah tak pernah bertanya-tanya lagi tentangmu, justru sekarang setiap kali membahas tentang ibu mereka, anak-anakmu tak ingin menjawabnya, bahkan tak ingin mendengar sebutan ibu mereka." Ucap mirna (merasakan sedih).

"Masyaallah, kenapa anak-anakku begitu, aku selalu mengirim kabar ke mereka, bahkan setiap bulannya aku selalu berkirim surat ke mereka, sejak awal aku bekerja disini, aku selalu kirim surat, tapi suratku tak kunjung 1 kalipun mereka balas, aku pun bingung dan bertanya-tanya." Ucapku.

Seketika mirna menunduk dan sedikit menghela nafas, ada sesuatu yang ingin diucapkannya tapi dia takun membuatku justru menjadi kecewa dan sedih, biar gimana pun aku dan mirna sudah menjadi tetangga dekat, semenjak kami menetap disana.
"Dinda, aku benar-benar minta maaf, tak sewajarnya aku menyampaikan ini, tapi ada hal yang perlu kau ketahui, apa sebab anakmu bersikap seperti itu, awalnya aku tidak tau, sekarang aku bisa mengerti dan bisa menjawab sendiri pertanyaanku tentangmu selama ini, setelah aku bertemu langsung denganmu." Ucap mirna.

"Apa itu mir? Katakan saja padaku, sebab aku ingin tau apa yang terjadi dengan keluargaku disana, karena mereka tak kunjung memberi kabar, aku disini bekerja keras untuk biaya pendidikan anak-anakku, tiap bulan aku kirim uang dan kirim surat ke mereka, hatiku sedih, seolah mereka tak mengingatku lagi." Ucapku.

"Din, semenjak kau pergi tanpa pamit dengan suami dan anakmu, anak-anakmu selalu mencarimu, setiap hari mereka datang kerumahku menanyai kabar tentangmu, apakah kau menelponku, atau kau kirim surat padaku, mereka lakukan itu selama 2 tahun, sampai mereka beranjak dewasa dan bosan sendiri menanyai pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya, sementara suamimu, 1 tahun sepeninggalanmu dia buka usaha grosir di kampung, usahanya berjalan dengan lancar, kami pun heran darimana dia mendapatkan modal, dia mengaku meminjam uang pada bank, tapi kami tak begitu yakin dengan jawaban suamimu, dan bukan hanya itu, dia sekarang sudah menikah lagi, dan kini punya 1 orang putri dari istri keduanya itu, semenjak menikah, anak-anak dan suamimu hidup terpisah, sebab anakmu tak rela punya ibu baru, dan istri kedua suamimu tak pernah pedulikan mereka, karena hidup keras mandiri jauh dari ayah dan ibu mereka, membuat mereka menjadi anak yang tumbuh kuat, mereka pulang sekolah bekerja separuh waktu di cafe untuk kehidupan mereka, sekali-sekali mereka datang kerumahku sambil bercerita, mereka mampu hidup mandiri membiayai semua kebutuhan hidup mereka, sebab kedua orang tua mereka tak mengingkan mereka, semenjak suamimu menikah lagi, tak sedikit pun dia menafkahi anak-anakmu lagi." Ucap mirna.

Hatiku tersentak, kaget dan aku pun menangis mendengar kenyataan itu, kenapa begitu perih hatiku saat ini, aku selalu memikirkan suamiku, kenapa mereka tega melupakanku, dan suamiku, aku tidak menyangka dia menyalahgunakan kepercayaanku.

"Aku tidak tau harus berkata apa lagi, satu yang aku inginkan saat ini, aku ingin memberitahukan kenyataan yang sebenarnya kepada anakku, mengenai suamiku, aku sudah tidak peduli lagi, terserah dia mau berbuat apa, tapi aku gak ingin kehilangan cinta dari anak-anaku." Ucapku sambil menangis.

"Begini saja, aku punya solusi, kamu kirim surat saja ke alamat rumahku, anakku akan memberikannya kepada mereka, sebab anakku dan anakmu masih sering bertemu dan bermain bersama." Ucap mirna.

Aku pun menyetujui akan saran mirna, aku tulis surat, isi hatiku pada mereka, dan alhamdulillah mereka membalas suratku, aku menangis meratapi semuanya, tapi kini aku telah berkumpul kembali dengan mereka, 15 tahun aku merantau, aku dapat membangun rumah buat kami tinggal, sementara suamiku, kehidupannya seperti sediakala, sebab aku tak lagi mengirimkan uang padanya. Kini tangisan 15 tahun itu, sudah ditebus dengan air mata kebahagiaan, tinggal bersama anak-anakku, dan kini mereka sudah menikah, dan akupun sekarang sudah memiliki cucu.


Writter by N. Yahya

Related Posts:

Fitnah

Fitnah...taukah kita apa itu fitnah?
Taukah kita apa artinya fitnah?

Sebagian banyak orang di dunia ini pasti sudah mengetahui apa itu fitnah, dan juga pernah merasakan fitnah, tapi meskipun demikian tidak jarang sekali orang melakukan fitnah untuk mendapatkan sesuatu hal yang di inginkannya.

Ya dia itu fitnah, satu kata yang dapat membuat hubungan seseorang dari yang harmonis menjadi permusuhan.

Ya dia itu fitnah, satu kata yang dapat menghancurkan hidup seseorang.

Ya dia itu fitnah, yang dapat menyakitkan hati banyak orang.

Ya dia itu fitnah, perbuatan yang dilarang Allah, tapi sangat di sukai setan.

Pagi ini ari ke kantor seperti biasanya, tapi entah kenapa saat melangkah keluar menuju kantor, dia merasakan perasaan yang tidak baik, seperti sesuatu hal buruk akan terjadi padanya, namun dengan di mulai dari doa, ari pun tetap melanjutkan keinginannya untuk ke kantor.


Setibanya di kantor, hal buruk itu pun terjadi, ari mendadak di panggil untuk segera menghadap ke manager keuangan, ketika dia menghadap manager, ari diberikan dokumen yang berisi data hasil kerjanya kemarin, dan ari pun terkejut, kenapa semua datanya sangat berbeda dengan yang dia kerjakan, akan tetapi sebelum ari menjelaskan data yang diberikan managernya, ari sudah dimarahi oleh managernya akibat hasil kerja yang dia terima, semua dokumen penting yang harusnya disiapkan untuk bahan meeting, jadi berantakan, sementara jadwal meeting tinggal sekitar 30 menit lagi, dan sangat logis kalau managernya ari marah, sebab dokumen itu tidak dapat di perbaiki dalam waktu 30 menit saja.

Disaat hal yang menegangkan itu, ari tidak diberikan kesempatan untuk berbicara sama sekali untuk dapat membela dirinya, dan tiba-tiba terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu "permisi pak, boleh saya masuk, ada dokumen penting yang harus saya berikan kepada bapak" ucap rangga.

"Saya tidak ingin melihat dokumen yang lain dulu, kamu letak aja di atas meja saya, nanti akan saya cek setelah meeting, masih ada dokumen yang lebih penting lagi, yang harus diselesaikan saat ini juga" jawab managernya ari.

"Ini adalah dokumen penting yang harus bapak cek, karena ini adalah dokumen yang bapak perlukan untuk bahan meeting" ucap rangga (sambil memberikan dokumen yang dipegangnya ke manager mereka).

Setelah manager keuangan itu melihat dan mengeceknya, dan ternyata memang itulah bahan yang diinginkan manager mereka.

"Oke, terima kasih rangga, saya akan segera keruang meeting, dan untuk saat ini kamu ari, jangan melakukan tugas apa pun lagi, semua dokumen penting saya hari ini hancur berantakan karena kamu, saya akan menemui kamu lagi, setelah meeting selesai" ucap manager mereka.

Setelah 2 jam berlalu, ari pun di panggil kembali ke ruangan manager keuangan, dan ketika ari masuk, managernya memberikan selembar surat, ari pun membaca surat tersebut, dan betapa terkejutnya perasaan ari saat itu.

"Pak, maaf saya di pecat?" Tanya ari.

"Iya, kamu dipecat, sebab ini adalah rapat paling penting di perusahaan kita. Saya selalu percayakan semua sama kamu, tapi kenapa kamu menyalahgunakan kepercayaan saya sama kamu?" Ucap managernya.

"Saya ingin menjelaskannya pak, tapi bapak tidak beri saya kesempatan untuk berbicara, dokumen itu bukan saya yang buat, itu palsu pak, saya berani sumpah, saya kerjakan semuanya dengan teliti, dan tidak ada kesalahan sedikit pun" ucap ari.

"Jika itu bukan dokumen kamu, jadi itu dokumen siapa ari? Kamu sendiri kan yang memberikan langsung kepada saya dokumen itu semalam ketika saya mau pulang kerumah, dan dokumen itu saya simpan rapi di dalam tas saya" jawab managernya.

Ari pun bingung dan tidak bisa membela diri lagi, karena semua pemikiran managernya itu memanglah benar, karena ari mengingat kembali, ketika managernya buru-buru pulang, ari memberikan dokumen itu pada saat managernya sudah memasuki mobil, dan karena managernya percaya selalu pada ari, dia pun tidak memeriksa dokumen itu, dan langsung menyimpannya di dalam tas. Namun ari masih ingat juga, rangga meminta bantuan kepada ari, karena data yang dia kerjakan ada sedikit erornya, dan rangga sempat singgah ke mejanya ari, tapi apakah pikiran ari benar atau tidak hanya Allah yang lebih mengetahuinya.

Dengan berat hati, ari pun pergi keluar kantor, dengan hati yang ikhlas, yang ada di dalam pikiran ari saat ini adalah mungkin sampai disinilah rejeki ari untuk bekerja disitu.

1 minggu telah berlalu ari dipecat dari kantornya, dan yang menggantikan posisi ari adalah rangga, karena bagi manager keuangan itu, rangga lah yang menyelamatkan perusahaan karena telah memberikan data yang akurat pada saat meeting dimulai, akan tetapi ketika diberikan tugas, rangga gugup sendiri, tidak bisa melakukan apa pun, tidak sepintar dan sebijak ari, berkali-kali rangga melakukan kesalahan, dan pada akhirnya rangga menyerah, dan mengakui kesalahan fatal yang telah dia lakukan kepada ari, atas pernyataannya itu rangga pun akhirnya di pecat juga, dan manager keuangan itu kembali menghubungi ari untuk dapat bekerja kembali di perusahaan, namun ari menolaknya karena saat ini ari sudah merasa tenang dan bangga dengan pekerjaan yang sekarang, sebab setelah di pecat dari kantornya ari membuka usaha cafe, dengan menu spesial yang di makanannya di racik sendiri oleh ari dan istrinya, meskipun belum begitu memiliki hasil keuntungan yang besar, karena mereka masih merintis usaha cafe tersebut, ari merasa nyaman, karena bukan uang yang buat kita merasa nyaman dan tenang dalam melakukan pekerjaan.

Writter by N. Yahya

Related Posts:

Jodohku

Entah apa yang direncanakan Tuhan untukku, hingga kini usiaku beranjak 31 tahun, namun tak satu pun ada pria yang pernah singgah di hatiku. Terkadang aku sering merasa Tuhan itu tidak adil terhadapku, kenapa semua orang memiliki pasangan? Kenapa semua orang sudah bertemu dengan jodoh mereka? Bahkan tidak sedikit teman-teman seusiaku sudah memiliki anak, sementara aku...sementara aku...tak pernah bertemu dengan sosok pria yang benar-benar tulus mencintaiku.

"Tuhan apa salah dan dosaku" hal ini yang selalu aku ucapkan tiap kali aku bersedih, olokan dari orang-orang terdekat disekitarku, sering sekali membuat telinga dan hatiku sakit mendengarnya, namun apa daya aku tak punya kuasa untuk membantah ucapan mereka semua padaku. Segala cara sudah aku lakukan, berdoa, berusaha membuka hatiku untuk pria yang ingin dekat denganku, namun tetap saja, tidak ada yang berkenan singgah ke hatiku ini. Terkadang terpintas dihati dan pikiranku mungkin aku kurang cantik, tidak seperti wanita lain diluar sana, aku tak begitu pandai merias diri seperti wanita kebanyakan, namun apakah hanya sebatas itu sajakah yang pria pikirkan tentang wanita? Selalu itu saja yang aku pertanyakan dalam hatiku. Namun seorang teman yang selalu ada untukku sejak kecil berkata padaku.


"Tidak perlu harus cantik, tidak perlu harus pintar berhias, untuk bisa membuat pria tertarik padamu, dengan ibadah, memiliki sifat yang baik, selalu menjadi wanita yang apa adanya, akan membuat banyak pria tertarik padamu, dan pada intinya jika ingin mendapatkan pria yang baik, maka harus bisa menjadi wanita yang baik pula" ucap Lidya (sahabatku).


Ucapan dan nasehat dari dirinya itu membuatku sedikit bersemangat, aku tetap berusaha memperbaiki sikap dan sifatku, tak lupa aku selalu berdoa dan berusaha untuk dapat bertemu dengan jodohku, hingga suatu ketika aku bertemu dengan seorang pria, yang ketika itu dia sedang tersesat, karena dia baru berkunjung ke kota Bandung, dia menanyakan alamat yang dia tuju kepadaku.

"Maaf mbak, aku boleh bertanya, alamat ini dimana ya?" Tanya pria itu padaku.

"Oh iya, kamu lurus aja, belok kiri itulah nama alamat yang kamu tuju, entar kamu coba tanya saja sama warga disekitarnya, untuk bisa mendapatkan rumah yang kamu tuju." Jawabku

Lalu dia berterima kasih kepadaku dan bergegas segera pergi, namun saat dia pergi dompetnya terjatuh, dan aku segera ambil dompetnya dan berusaha mengejarnya untuk mengembalikan dompetnya, namun tidak ku temukan pria itu.

"Cepat sekali pria itu jalannya, aku harus gimana dengan dompetnya ini?" Ucapku dalam hati.
Aku segera telpon Lidya sahabatku itu,
"Hallo lidya, lagi dimana posisimu?" Tanyaku.

"Aku dirumah baru selesai masak, ada apa  Tin?" Jawabnya.

"Aku minta tolong, ini aku temukan dompet, temenin aku dong buat cariin pemilik dompet ini." Pintaku.

"Aduh, tau orangnya gak?" Tanya lidya.

"Aku tau orangnya, tapi gak tau namanya, sebab tadi sebab ngobrol dia cuma tanya alamat aja." Jawabku.

"Oke deh, kamu lagi dimana posisinya sms kan aja alamatnya, entar aku susul kesana ya." Jawab lidya.

15 menit kemudian lidya datang dan kami pun ke alamat yang pria tanyakan tadi padaku. Pelan-pelan kami mencarinya, dan alhamdulillah ketemu juga saat dia berada di teras salah satu rumah warga sekitar. 

"Mas, maaf ini tadi dompetnya jatuh, waktu mas beranjak pergi." Ucapku.

"Oh iya, terima kasih mbak, aku tadi berpikir dompetku di copet orang, sebab kartu atm, ktp, dan surat-surat kendaraan ada disitu semua, oh ya perkenalkan namaku Hadi." Jawabnya (sambil ulurkan tangan).

"Saya tina dan ini teman saya lidya, baiklah kami permisi pulang dulu." Ucapku.

Aku dan lidya pun beranjak pergi, dan 1 minggu kemudian, kami bertemu kembali di salah satu toko buku, dan kami pun masih saling mengingat satu sama lainnya.

"Mbak Tina" sapanya.

"Mas Hadi, kebetulan sekali, sedang cari buku apa?" Tanyaku.

"Buku tentang memperdalam ibadah aja mbak, lagi sibuk gak mbak?" Tanyanya.

"Gak sibuk kok mas." Jawabku

"Gimana kalau kita ngopi sebentar, kalau mbak nya tidak keberatan sih." Pintanya.

"Ok, boleh aja kok" jawabku.

Dari pertemuan itu kami semakin akrab, kami langsung bertukar nomor hp, dan dia sering menelponku. Seiring berjalannya waktu, setelah 1 bulan kami dekat, dia sudah mulai menyatakan perasaannya padaku, aku seketika terkejut, dia pria baik dan tampan, juga ibadahnya rajin benarkah dia menyukaiku? Tanyaku dalam hati, rasa tak percayaku menjadi dikalahkan oleh keyakinannya yang langsung datang berkunjung kerumahku dan bertemu dengan kedua orang tuaku, dia melamarku, perasaan senang tak terhingga, tapi aku sangat bersyukur dia menunjukkan keseriusannya kepadaku, dan aku bersyukur punya sahabat seperti lidya yang selalu membangkitkan semangat hidupku untuk percaya bahwa jodohku pasti akan datang, jika sudah tiba saatnya, hanya saja aku harus terus bersabar dan belajar untuk menjadi lebih baik lagi.

Writter : N. Yahya

Related Posts:

Surat Untuk Adikku

Aku mira saat ini aku berusia 25 tahun, aku memiliki 3 orang adik, 2 adik perempuan dan 1 adik laki-laki. Selama hidup aku selalu berada bersama dengan adikku, tak pernah sedikit pun kami hidup saling berjauhan, namun dengan seiring berjalannya waktu, tiba saatnya dimana aku akan segera menikah dan akan tinggal jauh dari orang tua dan juga adik-adikku. 

Perasaan yang aku alami saat ini ibarat seperti gado-gado, yang di dalamnya banyak tercampur sayur-sayur yang beraneka ragam, sama halnya seperti diriku ini, saat ini aku merasakan perasaan sedih, sebab aku akan jauh dari keluarga kecilku, dimana aku tak bisa melihat repetan dan curahan ibu dan adik-adikku setiap harinya, aku tak bisa bersenda gurau manja dengan ayahku setiap hari lagi, dan aku tak bisa melihat adikku yang selalu membuatku kesal dengan tingkah kekanakan mereka, perasaan senang ketika aku dapat merasakan bagaimana rasanya seorang wanita menjadi seorang istri dan juga seorang ibu nantinya.


Menjelang pernikahanku, kami semua sibuk mempersiapkan pesta, keperluan ini dan itu semua kami lakukan bersama-sama sampai acara pesta berlangsung dan selesai dengan perasaan bahagia dan sedih. Namun disaat aku akan pergi jauh dari keluargaku, tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata, karena sebagai seorang kakak dari 4 bersaudara, aku harus memberikan contoh yang baik buat adik-adikku, aku tak dapat mengutarakan perasaanku kepada mereka, karena itu aku menuliskan sebuah surat untuk semua adik-adikku.

"Teruntuk buat adik-adikku tersayang. 
Gak bisa kakak ungkapkan dengan kata-kata, saat ini kakak adalah seorang istri, bukan hanya seorang anak dari kedua orang tua kita, dan juga bukan hanya seorang kakak buat kalian. Saat ini kakak juga memiliki 2 orang adik lainnya dari suami kakak, tapi bukan berarti kasih sayang kakak ke kalian semua berkurang, kakak berharap meskipun kakak jauh disana nantinya, kalian tetap seperti adik kakak yang dulu dan adik kakak yang sekarang, nanti dan selamanya, dimana kita selalu suka dan duka bersama-sama, meskipun kakak jauh bukan berarti kita tidak bisa saling mengobrol dan bercurhat seperti biasanya, kakak sangat berharap kalian bisa gantiin tugas kakak dirumah, jangan bertengkar, bantu ibu dirumah selalu, saling dukung satu sama lainnya, ibadah jangan pernah tinggal, saling menyayangi dan menghormati, jaga ibu dan ayah dirumah, 

jangan pernah kecewakan mereka, carilah pasangan yang terbaik buat kalian jadikan suami, dan teruntuk adikku yang laki-laki, jadilah pria sejati yang bisa melindungi keluarga, raih cita-citamu, kuliah nanti belajar dengan sungguh-sungguh, dan jadilah anak yang berbakti untuk keluarga, kakak sayang kalian semua, maaf kalau kakak sering marah, cerewet ke kalian semua, kakak juga terlalu keras dan tegas, tapi itu semua kakak lakukan semata-mata untuk kebaikan kalian, dan inilah cara kakak untuk ungkapkan isi hati kakak yang sesungguhnya."

Aku tulis surat itu, sambil menetes air mataku, tapi aku merasa sangat lega, karena ku bisa ungkapkan isi hatiku kepada mereka adik-adikku.

Writter by: N. Yahya

Related Posts:

Tangisan Sang Nasi

Setiap hari nita dan rida selalu saja menyisahkan nasi yang mereka makan di piring. Ibu mereka sudah berkali-kali menasehati mereka, namun tak sedikit pun mereka indahkan ucapan dari ibu mereka, maklum saja mereka masih usia 10 dan 9 tahun, jiwa mereka masih labil, hari ini menyesal, tapi besok dan lusa pasti mereka melakukan kesalahan yang sama lagi, sampai suatu ketika ibu mereka menceritakan kisah seorang petani dan seorang pengemis.

"Rida, nita kemari sebentar, ada yang ingin ibu sampaikan" ucap ibu mereka.

Kemudian rida dan nita pun menghampiri ibu mereka, dan duduk tepat disampingnya.

"Kalian tau, asal usul nasi itu dari mana?" Tanya ibu mereka.

"Tidak ibu" serentak rida dan nita menjawabnya.

"Nasi itu berasal dari beras, dan beras itu berasal dari padi yang di tanam oleh para petani, tau kah kalian berapa lama petani itu harus menanam padinya hingga dapat diproses menjadi beras? Mereka harus menunggu dalam waktu yang cukup lama, berbulan-bulan mereka merawat dan menjaga padi itu agar dapat di panen menjadi beras, mereka menjaganya dari hama dan burung yang senang hinggap di padi mereka, taukah kalian begitu banyak keringat dan waktu yang para petani keluarkan untuk mengubah padi menjadi beras, dan sekarang coba kalian lihat keluar (sambil menunjuk ke arah pengemis yang mengais nasi di sekitar sampah), dia tidak memiliki cukup uang untuk dapat membeli nasi, karena itu dia mengais nasi yang masih dapat dia makan untuk mengisi kelaparan di perutnya, kalian seharusnya harus lebih bisa bersyukur, sebab Allah memberikan kalian nikmat rejeki, kalian masih bisa makan nasi, bahkan lauk pauk yang enak dan lezat, belum tentu orang diluar sana bisa mendapatkan apa yang kalian dapatkan, namun tak pernah kalian merasa bersyukur, selalu saja kalian menyisahkan nasi yang kalian makan, coba kalian berpikir jika kalian menjadi seorang petani, dan pengemis itu.

apa kalian tidak ada sedikit pun merasakan sedih? Si petani pasti sedih karena kalian membuang hasil keringat yang dia keluarkan selama ini, sementara si pengemis merasa sedih, sebab dia tak dapat makan nasi, tapi kalian justru membuang nasi, cobalah dari sekarang belajar bersyukur, dan jangan pernah membuang nasi lagi nak, kalau saja nasi itu bisa berbicara dia akan meminta kalian untuk tidak membuangnya, justru untuk memberikannya kepada orang lain." Ucap ibu mereka.

Namun seperti biasa dari nita maupun rida mereka hanya bisa diam dan cuma menjawab satu kata "iya bu." Tapi entah apa yang terjadi malamnya nita dan rida mereka bermimpi bahwa ada sekumpulan nasi yang menghampiri mereka, nasi-nasi itu marah dan menangis, menuntut rida dan nita untuk tidak menyia-nyiakan mereka lagi, kumpulan nasi itu menghampiri di sekujur tubuh rida dan nita, saat itu mereka teriak dan meminta tolong, ketika ibu mereka mendengarnya, dia langsung masuk ke kamar rida dan nita, ibu mereka membangunkan kedua putrinya itu, dan seketika rida maupun nita menceritakan mimpi yang mereka alami bersama, dan mereka pun berjanji untuk tidak menyisahkan makanan maupun nasi lagi, mereka benar-benar menyesali perbuatan yang mereka lakukan selama ini.

Keesokan harinya rida dan nita mengambil nasi sesanggup mereka makan saja, dan selebihnya mereka memberikan nasi dan lauk pauknya kepada pengemis yang biasa mengais sampah di sekitar rumah mereka, dan pengemis itu sangat bersyukur sebab dia tak perlu harus mengais sampah lagi untuk mencari nasi yang bisa dia makan.

Writter by: N. Yahya

Related Posts:

Anakku Bukan Anakku

Tepatnya 16 tahun yang lalu, entah apa yang ada di pikiran anakku Widya, karena ingin mendapatkan persetujuan dari kami dan keluarga pria yang dia cintai, mereka nekat melakukan hal yang membuat diri mereka melakukan kesalahan dan hanya akan berakhir dengan sebuah penyesalan. Harapan mereka untuk mendapatkan restu justru membuat kedua belah pihak keluarga semakin mengekang hubungan mereka.

Ketika widya hamil, tak satu pun dari pihak pria yang dia cintai mengakui perbuatan mereka, bagi mereka anak kami lah yang bersalah sepenuhnya, karena meskipun tidak mendapat restu, mereka menuduh anak kami yang merayu putra nya. Sedihnya lagi putra mereka tidak di ijinkan bertemu dengan putriku widya, justru mereka mengirim putranya keluar negeri ke negara malaysia untuk kuliah disana, perasaanku sangat sakit, bagaikan hatiku di sayat-sayat dengan pisau yang tajam, sebab putriku telah ternodai, dan pria yang seharusnya bertanggung jawab malah pergi meninggalkannya, meskipun begitu aku tidak boleh menunjukkan rasa sedih dan kecewaku kepada anakku sendiri, biar bagaimanapun saat ini widya butuh seseorang yang mampu membuat dia bertahan dan bersabar atas semua kesalahan yang harus dia tanggung di pundaknya.

Selama 9 bulan dari kehamilannya untuk menutupi aib, aku dan widya pindah ke daerah kampung halaman, yang rentan tidak begitu ramai penduduknya. Dengan izin dari suami, aku meninggalkan mereka untuk beberapa saat, setelah widya melahirkan mungkin kami akan kembali ke kota. Saat kami menetap selama 1 tahun di kampung halaman, banyak penduduk yang menanyai suami widya berada dimana, aku dan widya sudah sepakat sebelumnya jika ada orang yang bertanya tentang siapa suami widya dan ayah dari anak yang dikandungnya kami akan menjawabnya kalau suami widya sudah meninggal, ketika dia bekerja di luar kota. Karena kami penduduk baru, maka warga disekitar percaya dengan jawaban kami, maka waktu 1 tahun kami berada di kampung tidak terasa berat.

1 tahun pun berlalu aku dan widya ingin kembali ke kota, sudah sangat lama aku tinggalkan suami dan 2 orang anakku yang lainnya, namun entah apa lagi yang ada di pikiran widya.

"Ibu, aku benar-benar minta maaf, sebab aku telah menyusahkanmu bu, begitu bodohnya aku, sehingga aku memberikan harta yang sangat berharga yang Allah berikan padaku, justru aku berikan kepada pria yang sama sekali belum sah menjadi suamiku, berharap semua orang akan merestui hubungan kami, justru malah membuat awal derita buatku bu" ucap widya padaku.

"Sudah lah nak, yang penting kau dan bayimu sehat, tak usah pikirkan apa pun lagi, sekarang bertaubatlah, dan pikirkan tentang masa depanmu dan anakmu kelak, tak usah kau pikirkan lagi pria yang dengan tega meninggalkanmu begitu saja. Jika memang dia mencintaimu, dia akan menolak jika dikirim ke malaysia oleh orang tuanya" nasehatku pada widya.

"Ibu aku tak punya muka kalau kembali dalam keadaan seperti ini, aku ingin pergi merantau. Aku akan bekerja mencari uang untuk menafkahi anakku, aku mohon bu, rawatlah anakku seperti ibu merawat kami sewaktu kami kecil, aku ingin mandiri, aku ingin berkarir dan membawa ibu,ayah dan adik-adik dirumah pindah, dan kita memulai kehidupan yang baru, kehidupan yang lebih baik lagi bu" pintanya.

"Baiklah nak, jika itu keinginanmu lakukanlah, ibu merestui niat baikmu, tapi ingat dimana pun kau berada, jangan pernah kecewakan ayah dan ibu, jangan pernah melakukan kesalahan untuk yang kesekian kalinya lagi, jika hal ini terulang kembali, ibu tak akan memaafkanmu nak" ucapku.

"Aku janji bu, tak kan mengulangi kesalahan dan kebodohan lagi seperti yang dulu" jawab widya.

Lalu widya pun pergi meninggalkanku dan putrinya, dan aku pun pergi pulang ke kota. Seiring berjalannya waktu anak widya tumbuh semakin besar, dan sekarang dia sudah berusia 2 tahun, dia sudah pandai berbicara ini dan itu, dan ketika mega (nama dari putrinya widya) bermain dengan teman-temannya, semua temannya di jaga oleh ibu-ibu mereka, saat pulang teman-teman mega memanggil ibu mereka dengan sebutan ibu, saat itu juga mega yang semakin tumbuh menjadi anak yang bijak bertanya kepadaku.

"Apa itu ibu? Apakah aku punya ibu? Kenapa mereka semua selalu dijemput dengan ibu? Kenapa aku selalu dijemput dengan nenek?" Tanya mega padaku.

Tak tega melihat wajah polos mega, aku pun jadi teringat pada widya, namun aku tak ingin membuat mega kecil hati.

"Sayang ibu itu adalah seorang wanita yang melahirkanmu, menjaga dan merawatmu hingga sekarang nak, dan mega juga punya ibu" jawabku.

Dengan spontan mega langsung menjawab "oh berarti aku harus panggil nenek ibu, karena selama ini kan aku bersama dengan nenek" (sambil tersenyum manis).

Tak tahan aku melihat senyum polosnya itu, aku pun tak bisa berkata-kata lagi, dan semenjak kejadian itu mega selalu memanggilku ibu...ibu...dan ibu, hingga dia beranjak usia 10 tahun.

10 tahun berlalu, tiba-tiba ada mobil yang parkir di depan rumah, tak lama kemudian ada seorang wanita yang berparas cantik, berpakaian elegan menghampiri kerumah.

"Assalamualaikum, ibu" (sambil memelukku)

"Waalaikumsalam, siapa kamu?" Tanyaku.

"Ibu ini widya, apa ibu lupa sama anak sendiri?" (Sambil tersenyum)

Aku pun memperhatikannya dari atas hingga ke bawah dirinya.

"Astaghfirullah widya, anakku sayang, gimana kabarmu nak?" (Aku memeluk widya) "rindu ibu, begitu juga dengan ayah dan adik-adikmu, terlebih lagi mega, dia sangat senang pasti jika melihatmu" ucapku.

"Mega? Apa dia putriku bu? Dimana dia sekarang?" Tanya widya.

Tiba-tiba mega datang, dan dia langsung menghampiri kami.

"Ibu ada tamu y? Mega buatkan minum dulu ya bu" ucap mega.

Tersentak hati widya pada saat itu, spontan dia langsung memeluk mega, perasaan rindu yang teramat dalam dia rasakan terhadap putrinya, mega pun heran dan tak mengerti kenapa widya memeluknya. Aku pun menyuruh mereka duduk dan perlahan aku mengatakan yang sebenarnya kepada widya dan putri.

"Widya, mega kalian adalah bagian dari hidupku, aku tak ingin diantara kalian terjadi salah paham, widya, dia mega anak yang kau lahirkan 10 tahun yang lalu, sekarang usia nya sudah 10 tahun, pada saat dia mulai pintar berbicara, dia selalu mempertanyakan ibunya, agar dia tidak kecewa padamu dan ibu tak ingin wajah polosnya menjadi bersedih, ibu mengatakan ibu adalah seorang wanita yang melahirkan, merawat dan membesarkanmu, dan semenjak itu mega memanggil ibu dengan sebutan ibu juga, karena baginya ibu lah yang selalu merawatnya selama ini. Dan mega ini ibu kandungmu, yang sebenarnya dia lah yang mengandung dan melahirkanmu, meskipun dia tidak sempat membesarkanmu, tapi dia sangat menyayangimu, selama ini dia selalu memberikan yang terbaik buatmu, sekolah dan kehidupanmu sehari-hari selalu di kirim ibu mu, meskipun tidak langsung dia memberikannya padamu" ucapku pada mereka.

"Aku mengerti ibu, aku tidak akan mempertanyakan apa sebabnya menjadi begitu, tapi yang aku tau ibu sangat menyayangiku, meskipun begitu aku tetap memanggil ibu, karena ibu lah yang merawatku selama ini, dan ini juga ibuku (sambil memeluk widya) yang sudah mengandung dan melahirkanku, aku sangat berterima kasih kepada kedua ibu hebatku ini" (sambil tersenyum) ucap mega.

Lalu hari bahagia itu pun telah tiba, widya mengajak kami semua pindah kerumah impiannya, yang sudah dia persiapkan bertahun-tahun lamanya.

Dan sekarang kami hidup bahagia, dengan kebahagiaan itu aku punya anak tapi bukan anakku melainkan dia adalah cucuku, bersama suami dan 3 orang anakku yang lainnya, kami hidup sangat bahagia.

Writter by: N. Yahya

Related Posts:

Ibuku Bukan Ibuku

Penyesalan dan penyesalan yang saat ini maya rasakan dalam hidupnya, cinta yang berawal dari penyesalan dan kini pun pada akhirnya penuh penyesalan juga, ya begitu lah kisah cinta yang selama ini di perjuangkan olehnya menjadi penuh tangis dan air mata. Tepatnya 16 tahun yang lalu maya jatuh cinta kepada seorang pria yang bernama Rizki, ketampanan dan kepribadiannya yang baik hati lah yang membuat hati maya luluh dan jatuh cinta padanya.

Genap 2 tahun usia masa mereka menjalin kasih, rizki berniat untuk melamar maya, ia pun dengan dengan penuh keyakinan datang berkunjung kerumah maya, akan tetapi kedatangannya tidak di sambut dengan hangat oleh kedua orang tua maya, sebab orang tua maya tidak menyetujui hubungan mereka dikarenakan rizki berprofesi sebagai seorang supir di salah satu angkutan umum, akan tetapi sifat yang penuh dengan semangat dan pantang menyerah inilah yang juga membuat maya semakin mencintainya.
Setelah kepulangan rizki dari rumah maya, ia segera menelpon ibunya yang di semarang, dengan harapan keluarganya dapat berkunjung dan membantunya untuk dapat melamar maya.

"Assalamualaikum ibu" ucapnya.

"Waalaikumsalam nak, kau kah itu rizki?" Tanya ibunya.

"Iya ibu, ini rizki, ibu gimana kabarnya disana sehatkah?" Tanya rizki.

"Alhamdulillah ibu dan keluarga disini sehat nak, kapan kau pulang? ibu rindu padamu nak" tanya ibu rizki.


"Maaf ibu, saat ini rizki tak dapat pulang untuk sementara waktu, karena rizki ingin meminang seorang gadis disini bu, untuk itu jika ibu dan keluarga disana tidak keberatan, sudi kiranya datang berkunjung ke Medan untuk membantu rizki melamar maya bu, wanita yang rizki cintai" pintanya.
"Alhamdulillah akhirnya kamu segera menikah. Baiklah nak, ibu akan sampaikan kepada seluruh keluarga, untuk dapat segera berkunjung kesana" ucap ibu rizki.

"Terima kasih ibu, doa semua keluarga lah yang saat ini Rizki harapkan" ucapnya.

1 minggu kemudian keluarga rizki pun datang, ayah, ibu dan 2 orang adik rizki lainnya, rizki pun segera membawa keluarganya untuk berkunjung kerumah maya kembali, dengan harapan jika membawa keluarga besarnya, rizki dapat diterima menjadi calon suami untuk maya, namun sesampainya disana, kedua orang tua maya memang menyambut mereka, dan pada awalnya mereka menanyakan niat kedatangan keluarga rizki kerumahnya.

"Ada apa bapak dan ibu semua datang kemari? Dan kau juga kenapa datang kembali kesini? (Sambil melihat kearah rizki dengan tatapan yang sinis) tanya ayah maya.

sehingga membuat keluarga rizki heran dan bertanya-tanya dalam pikiran mereka, mengapa ayah maya bertanya dengan ketus dan tatapan seperti itu.

" maaf pak, saya ayah rizki, maksud dan tujuan kami kesini adalah untuk melamar anak bapak yang bernama maya, untuk menjadi istrinya anak kami yang bernama rizki" jawab ayah rizki.

Ibu dan ayahnya maya tertawa, seolah-olah mengejek perkataan dari keluarganya rizki.

"Melamar anak kami? jangan bercanda anda, bukankah lamaranmu tempo hari sudah kami tolak? kenapa kau sekarang justru membawa orang tuamu kesini, kau pikir dengan membawa mereka, kami akan luluh dan mengijinkan anak kami maya untuk menikah denganmu. Jangan bermimpi, sudah berulang kali kami beritahukan kepadamu, kau tidak pantas untuk putri kami, sebab kau orang miskin, cuma supir angkot, bagaimana anak kami nanti bisa kau kasih makan? kami tak pernah membiarkan anak kami hidup susah, paham kau. Ucap ayah maya.

Mendengar hinaan yang di ucapkan ayah maya, ayah rizki pun sangat marah, dia tidak terima hinaan itu.

" bapak pikir anak kami tidak sanggup memberi makan anak bapak? Anak kami tinggal merantau disini, dia berasal dari keluarga yang berada, kami memiliki kebun teh yang luas, namun anak kami mandiri, dia tidak pernah mengharapkan sama sekali harta kekayaan dari keluarganya, bagi kami harta yang paling berharga adalah anak-anak kami, jauh-jauh kami datang dari surabaya, tapi hinaan seperti inikah yang kami terima? Baiklah, kami pun tak sudih menjadi besan dengan anda." Ucap ayah rizki.

Ayah rizki pun menarik kembali anak dan istrinya untuk segera pulang, dan mereka sangat kecewa dengan sikap orang tua maya. Pada hari itu juga mereka pun kembali ke surabaya. Pada saat itu juga maya dan rizki sudah sangat putus asa, segala cara mereka lakukan demi menyatukan cinta mereka dan mendapat restu keluarga, namun tak kunjung berhasil, dan mereka pun mengambil keputusan yang membuat awal permulaan penyesalan yang mereka alami hasilnya, maya dan rizki kabur dari rumah, dan mereka memilih nginap di hotel 1 malam, dan di malam mereka menginap di hotel itu, kejadian yang tidak seharusnya terjadi, telah mereka lakukan, dalam pikiran mereka mungkin dengan cara inilah keluarga mereka akan merestui hubungan mereka.

1 bulan kemudian maya memberitahukan kepada rizki, kalau dia telah hamil 3 minggu, bahagia sekali saat itu perasaan mereka, sebab mereka yakin dengan begitu restu keluarga pun akan hadir, akan tetapi setelah mendengar kabar kehamilan maya, keluarganya malah mengurung maya dan tidak di perbolehkan keluar, namun seiring berjalannya waktu perut maya kini semakin membesar, dan di saat usia kehamilan menuju 5 bulan, keluarga maya memanggil rizki datang kerumah, saat itu tidak ada pilihan lain lagi selain menikahkan mereka berdua, karena orang tua maya tidak ingin menanggung malu atas perbuatan buruk anak mereka.

Namun setelah maya dan rizki menikah, mereka tetap hidup terpisah, bagi ayah maya dia tetap tidak menyetujui hubungan mereka, dari awal kehamilan berkali-kali maya di paksa untuk menggugurkan kandungannya, dengan cara memberi jamu, memberi makan nenas, bahkan membuat lantai kamar mandi licin agar maya terjatuh dan janin di dalam rahim maya keguguran. Namun anak yang di dalam kandungan maya sangatlah kuat, dia masih bertahan di dalam rahim maya, sampai maya melahirkannya.

Setelah maya melahirkan anaknya, sempat anak perempuan yang dilahirkan maya itu di buang oleh ayahnya maya, namun dengan kondisi yang sangat lemah maya mendapatkan anaknya kembali, dan dia pun berniat ingin kabur dari rumah dan menemui rizki. Setibanya maya bertemu dengan rizki, maya pun segera dibawa rizki ke surabaya, sebab rizki dan maya tak ingin anaknya terpisah dari mereka. Kemudian sesampainya mereka di surabaya, mereka bertemu dengan keluarga rizki, mereka pun meminta tolong untuk menjaga anak perempuan mereka, sebab mereka berkeinginan fokus untuk bekerja buat kebutuhan makan mereka dan anak mereka juga, meskipun kehidupan orang tua rizki mapan, namun mereka tak ingin menopang hidup dengan orang tuanya rizki.

3 tahun berlalu, setelah mereka meninggalkan anak perempuannya di rumah orang tua rizki, maya dan rizki kembali, kerinduan mereka terhadap anak itu lah yang membuat mereka ingin memeluk anaknya, namun ketika ketemu dengan anaknya, sesuatu hal yang tak di inginkan pun terjadi.

"Sayang itu orang tua mu, pergi lah dan peluk mereka" ucap ibu rizki.

Namun anak mereka tak kunjung ingin memeluk mereka, karena tak sabar maya pun menghampiri anaknya.

"Sayang, kamu cantik sekali sekarang, sini nak peluk ibu, ibu sangat rindu kami" ucap maya.

"Anak itu menghempaskan tangan maya dari pundaknya, kau bukan ibuku, ibu ku ini, dia lah yang selalu ada bersamaku," ucap anaknya sambil menunjukkan kearah ibunya rizki.

Menetes air mata ketika anak sendiri tak mengakui dirinya sebagai ibu, hingga 15 tahun usia putrinya namun tetap tak pernah dia mendengar panggilan ibu dari mulut anaknya sendiri, anaknya hingga kini selalu memanggilnya tante.

Writter by: N. Yahya 

Related Posts:

Anak Pertama Ayah

Terasa sangat kaku tangan dan kaki ku ini, rasanya badanku pun sudah tidak sanggup lagi dan sudah tidak kuat lagi seperti dahulu, dimana aku 28 tahun lalu menikahi seorang gadis yang berparas cantik, berhati mulia, bersifat bersahaja dan bersabat, dia juga rajin beribadah, karakter seperti inilah yang mampu membuat hatiku untuk berkeinginan meminang gadis itu. Alhamdulillah dan sangat bersyukur aku dapat menikah gadis itu, tak dapat aku mengutarakan dengan kata-kata rasa syukurku kepada Allah.

Seiring berjalannya waktu, satu bulan telah berlalu dari pernikahan kami, alhamdulillah istriku hamil, rasa syukur dan perasaan senang tiada tara terlihat dari wajahku. 

"Bunda, tolong jangan terlalu capek dirumah, jaga makanan dan minuman bunda" ucapku.

"Ayah tidak usah khawatir, insyaallah bunda selalu jaga amanah yang diberikan Allah kepada kita" jawab istriku.

"Baiklah bunda, Ayah pergi kerja dulu, semoga semakin banyak ayah mendapatkan rezeki hari ini buat Bunda dan calon anak kita" ucapku.

cerpen Anak Pertama Ayah Dan aku pun bekerja dengan penuh semangat, selalu muncul dalam pikiranku anakku akan segera lahir, meskipun aku harus menunggu dalam 9 bulan lamanya, tapi perasaan yakin diriku akan menjadi seorang Ayah, semakin hari semakin kuat, perasaan yang tidak sabar selalu menghantui diriku, dimana nantinya anakku akan memanggilku Ayah.

Dengan berlalunya waktu hari demi hari, minggu demi minggu, bulan dan demi bulan, alhamdulillah tiba saatnya menunggu hari kelahiran anakku, sudah banyak yang aku persiapkan bersama istriku, dari mulai pakaian bayi, bedan, baby oil, popok, dan khusus untuk tempat tidurnya aku membuatkan sendiri dari tanganku sendiri, aku ingin anakku merasa nyaman tidur di kasurnya, karena dibuat oleh tangan Ayahnya sendiri dengan penuh rasa cinta. 

"Subhanallah Ya Rob sakit sekali" terdengar suara istriku yang merintih kesakitan, aku pun bergegas menghampiri istriku.

"Bunda ada apa? apanya yang sakit?" tanyaku.

"Ayah perut Bunda sepertinya sudah kontraksi, sepertinya Bunda sudah mulai ingin melahirkan, bawa Bunda segera ke klinik terdekat saja Ayah, jujur Bunda sudah tak tahan menahannya" ucap istriku sambil mengelus perutnya.

Aku pun segera membawa istriku ke klinik di dekat rumah, dan langsung bertemu dengan salah satu suster disana.

"Maaf pak, silahkan bapak tunggu saja di ruang tunggu, sampai istri bapak melahirkan" ucap suster itu kepadaku.

Akan tetapi sudah 1 jam berlangsung proses persalinannya, namun istriku belum kunjung melahirkan juga, dan salah satu suster yang berada di ruang persalinan keluar dan menghampiriku.
"Maaf pak, bapak suami dari ibu Rida?" Tanyanya kepadaku.

"Iya suster saya suaminya, kenapa, dan bagaimana keadaan istri saya di dalam sana?" Tanyaku.

"Bapak silahkan saja masuk, sepertinya istri bapak ingin didampingi proses persalinannya" ucap suster. 

Aku pun segera masuk ke dalam, dan menemani istriku yang sedang melahirkan, Subhanallah aku sangat takjub dengan kekuasaan Allah, aku dapat melihat langsung proses persalinan istriku, dan seketika aku pun teringat kepada ibuku, beginikah susahnya ibu melahirkanku? beginikah rasa sakit yang di derita ibu ketika melahirkanku, sungguh besar perjuangan seorang ibu untuk bisa melahirkan seorang anak ke dunia, hingga mempertaruhkan nyawanya sendiri. 

Aku pegang kuat tangan istriku, dan dia pun perlahan mengambil nafas dan mengedan sekuat mungkin untuk dapat segera mengeluarkan anak kami.

"Ayo bu, ngeden lagi...sudah mau keluar bu, kepala si bayi sudah kelihatan, sedikit lagi bu" kata dokter kepada istriku.

Alhamdulillah Ya Allah istriku sudah melahirkan seorang anak, begitu kepala anak kami keluar dengan leluasa seluruh badannya pun ikut keluar.

"Selamat ya pak, anak bapak perempuan, dan dia sangat cantik, mirip ibunya" ucap dokter kepadaku. 

Kemudian dokter itu memberikan anak kami untuk aku gendong, dan aku memperlihatkan anak kami kepada istriku yang sekarang kondisinya sudah lemas tak berdaya, karena mengeluarkan tenaga yang begitu banyak ketika melahirkan anak kami, lalu aku pun mengqomatkan anakku sesuai dengan ajaran agama kami. Kemudian aku pun memberikan anakku kepada suster untuk segera dibersihkan dari darah yang ada disekujur tubuhnya, hanya selang beberapa menit rekan kerabat dan teman-teman pun datang untuk melihat anakku yang telah lahir.

Senang dan bahagia perasaanku, aku dapat melihat dia tumbuh dari masa bayi, di mulai dia bisa menangis, tertawa, tersenyum, mengigau, telungkup, merangkak, duduk, berdiri, dan berbicara, subhanallah, aku sangat bahagia bersama istriku kami silih berganti untuk dapat menidurkan anakku yang selalu ingin tidur di ayunan, pagi hingga sore, selalu Bunda yang mengayunnya, dan aku mendapat giliran di malam hari untuk selalu mengayunnya, hal ini kami lakukan selalu hingga istriku melahirkan anak kami yang ke-2 dan anak yang ke-3, alhamdulillah setiap tahunnya istriku melahirkan anak-anak kami yang lucu dan setelah dewasa mereka menjadi anak-anak yang cantik.

cerpen ibunda Anak Pertama Ayah
Akhirnya tiba saatnya anak-anakku bersekolah, dengan biaya seadanya, aku sangat bersyukur anakku selalu mendapatkan beasiswa, sehingga dapat meringankan bebanku dalam biaya sekolah mereka, aku pun sangat bersyukur mereka tidak pernah menuntut banyak hal kepadaku, dari mereka kecil hingga saat ini, mereka selalu mensyukuri apa yang mereka peroleh, bersekolah pun mereka mengenakan tas buatan tanganku sendiri, bahagianya dengan bangganya mereka selalu membanggakan tas buatanku kepada teman-teman mereka, karena sebisa mungkin hal-hal yang dapat ku buat dengan tanganku sendiri, aku berikan kepada anak-anakku. Semakin tahun anakku semakin tambah dewasa, aku selalu menuntut dia (anakku yang pertama) untuk dapat selalu menjadi panutan buat adik-adiknya, dia selalu memberikan contoh yang baik, dari segi agama, pendidikan, sikap dan perilaku kepada adik-adiknya, sampai akhirnya dia pun dewasa dan sudah memiliki sikap dan prinsip yang keras sepertiku dan penyabar seperti ibunya, dia pun meraih kesuksesan dengan karir yang dia peroleh saat ini.

"Ayah, bolehkan aku berbicara sebentar?" Ucap ida anak pertamaku.

"Ya sayang, ingin bicara apa?" Tanyaku.

"Ayah, usiaku saat ini sudah 26 tahun, bolehkah aku meminta sesuatu kepada ayah?" Tanyanya.

"Kau inginkan apa? Ayah harap kau bisa berpikir sendiri nantinya, apakah Ayah sanggup atau tidak untuk penuhi permintaanmu itu" jawabku.

"Ayah, aku ingin menikah dengan seorang pria yang baik, dia bekerja, dan dari keturunan yang baik juga, ijinkan aku untuk menikah ayah." Pintanya.

Sejenak aku terdiam dan termenung, akankah ini saatnya aku harus melepaskan putri ku, anak pertama yang sangat aku sayang, harapan dan kebahagiaan dalam hidupku sepenuhnya ada pada dirinya, aku sadar aku tak dapat menahan dia terus berada disampingku, suatu saat dia akan pergi bersama pria yang dia cintai untuk membina rumah tangga.

"Suruh pria itu datang ke hadapanku, untuk berbicara kepada ayah dan ibu atas niat baiknya ingin menikahimu" jawabku. Lalu keesokan harinya Ida membawa pria itu ke hadapanku, bersama dengan keluarganya, dia langsung meminang anakku, dan di sela pembicaraan kami, langsung lah ada keputusan niat baik pernikahan akan segera di langsungkan dalam waktu 1 bulan ini.

Dan pada akhirnya tiba lah dimana aku harus melepaskan anak kesayanganku itu untuk segera menikah, dengan tangan gemetar, jantung berdetak kencang, disaat ijab kabul, aku menikahkan anakku dengan seorang pria bernama Radit. Aku yakin kelak dia dapat membahagiakan anak kesayanganku itu. 

Usai dari acara pesta pernikahan anakku, tak lama kemudian mereka pun pergi kerumah baru mereka, disanalah mereka hidup berdua, dan anakku memulai kehidupan barunya menjadi seorang istri, bukan hanya seorang anak lagi, aku pun sadar semua anak gadisku akan pergi meniggalkan rumah dikala mereka sudah menikah, dan satu persatu dari mereka, aku harus merelakannya.

"Assalamualaikum Ayah" terdengar suara di depan pintu yang menyadarkanku dari lamunanku itu.

"Waalaikumsalam" jawabku sambil menuji ke arah pintu rumah.

"Ida, kau datang nak, masuklah sayang" ucapku.

Dan dia memeluk dan menciumku, kebiasaan dia dari kecil, bahkan setelah menikah untuk selalu memeluk dan menciumku tiap berjumpa, dan dia memberiku seorang cucu yang kini aku sedang menggendongnya. Dia anak pertamaku yang memberikan awal kebahagiaan dalam hidupku setelah aku menikah dengan wanita yang aku cintai, dan kini dia memberikan cucu pertama kepadaku.

Related Posts:

Cahaya Hatiku

       Teriknya siang matahari hari demi hari aku selalu hadapi, namun tidak pernah membuatku berhenti untuk berjuang menafkahi anak dan istriku, mereka lah salah satu alasan untuk aku tetap harus lebih semangat mencari rezeki.

"Ayah...Ayah...Ayah..." terdengar dari kejauhan suara anakku Revan memanggil.

"Ya nak, ada apa? kenapa revan tergesa gesa dan cemas seperti ini?" tanyaku kepada Revan. 

Lalu Revan menjawab "Ayah cepat pulang, ibu sepertinya sudah mau melahirkan" mendengar hal itu aku dan Revan pun segera berlari menuju rumah, dan sesampainya dirumah aku sudah melihat istriku sedang kesakitan, disekujur tubuhnya keluar keringat yang sudah membasahi tubuhnya, dan sedikit darah sudah keluar hingga mengalir ke kakinya, hatiku cemas tak karuan, meskipun ini adalah kelahiran anakku yang ke 8 (delapan) namun tetap saja aku masih merasa gugup setiap kali istriku melahirkan, bergegas aku segera membawa istriku ke bidan terdekat.


    Sekitar kurang lebih 1 jam terdengar suara tangisan bayi di dalam ruangan tempat istriku melahirkan anak kami, sujud syukurku akhirnya anakku lahir dengan selamat dan sehat, alhamdulillah anakku laki-laki, tak lama kemudian aku pun lalu mengadzani anakku, hati sangat senang, begitu pun dengan anak-anakku yang lainnya, namun entah apa yang terjadi tak sedikit pun aku melihat senyuman dari wajah istriku. 3 hari telah berlalu, setelah istriku melahirkan, aku membawa anak dan istriku kembali kerumah, dan berbagai banyak obat yang harus ku tebus untuk resep pengobatan istriku, jujur saja aku tak sanggup membayar rawat inap istriku yang seharusnya menurut dokter dia harus dirawat selama 1 minggu, dengan dana secukupnya ditambah dengan sedikit bantuan dari tetangga sekitar yang selalu memberikan bantuan kepadaku, aku bisa menebus biaya pengobatan dan rawat inap istriku.

Akan tetapi masih tetap saja aku tak melihat adanya sedikit senyuman dari istriku.

    Hari demi hari, waktu pun terus berlalu, tak terasa waktu sudah 2 minggu berlalu, namun masih saja ku lihat istriku yang bersedih, aku tidak tau apa yang ada dipikiran istriku, perlahan aku mencoba dekati istriku, dan bertanya padanya ada hal apa yang membebani pikirannya. "Bu, ada apa denganmu? belakangan ini Ayah selalu lihat ibu bersedih, jika ada masalah katakanlah, kita akan coba selesaikan bersama-sama." Tanyaku, namun istriku tak menjawabnya, dia hanya memberikan jawaban dengan senyuman kecil di bibirnya. "Baiklah bu, jika ibu tak ingin menceritakan apa pun, Ayah pamit pergi kerja dulu, doakan Ayah supaya dapat rezeki yang lebih hari ini, untuk kita dan anak-anak bu" ucapku. Aku pun pergi meninggalkan rumah untuk mencari rezeki yang halal buat keluargaku, tak lupa aku ucapkan Bismillah di setiap langkahku, agar Allah selalu meridhoi langkahku, dan memberikan rezeki yang halal kepadaku.
    
Dari pagi pukul 8 sampai malam pukul 9 aku baru selesai mencari rezeki, akan tetapi sesampainya aku dirumah, aku mendengar anakku menangis, bukan hanya si bayi, tapi seluruh anakku menangis aku terkejut dan heran, tapi mereka berkata kepadaku mereka lapar dan belum ada makan sedikit pun dari siang tadi, karena ibu mereka sedang pergi entah kemana dan tak kunjung pulang, dan si bayi popoknya belum terganti, nangis terus, maklum saja anakku masih terlalu kecil untuk bisa menjaga seorang bayi, karena usia anakku yang ke-3 masih 12 tahun, yang ke-4 10 tahun, ke-5 8 tahun, ke-6 6 tahun, ke-7 4 tahun, sedangkan anakku yang pertama dan kedua, mereka sudah menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi.

Aku segera masak makan malam seadanya, mendadarkan beberapa telur, untuk mereka makan, aku mengganti popok si bayi, namun aku menemukan surat disamping bantal si bayi "untuk Ayah (suamiku) sebelumnya Ibu minta maaf, karena tak dapat bertemu langsung dengan Ayah, Ibu pergi meninggalkan rumah, jujur saja Ibu tak sanggup tinggal bersama lagi, dari kita menikah tak pernah sedikit pun Ibu merasakan kebahagiaan dalam hidup, apa lagi semenjak kita memiliki banyak anak, semakin banyak beban biaya yang harus Ibu pikirkan, jujur ibu tak sanggup kembali lagi hidup bersama dengan Ayah, yang terus-terusan hidup dengan penuh kesusahan. Wassalam Ibu" setelah membaca surat itu, hatiku sangat sakit bagaikan pisau yang sangat tajam menusuk langsung ke arah jantungku, aku berlari dan terus berlari sambil berteriak memanggil istriku, namun tak kunjung aku temui istriku itu, kepalaku terasa sakit, dadaku terasa sesak, dari pagi aku belum makan, badanku lemas, seketika aku pun terserempet oleh mobil truk yang laju dengan sangat cepat.

    "Dimana aku? kepalaku terasa sangat sakit, tulangku terasa ngilu sekali, dimanakah aku?" Tanyaku.
Kemudian rika anak pertamaku berkata, "Ayah sudah sadar? Alhamdulillah, aku segera panggil dokter dulu" tak lama kemudian dokter pun datang menghampiriku dan memeriksa kesehatanku.
"Syukurlah bapak sudah siuman, sejak bapak kecelakaan kemarin, 1 minggu bapak tak sadarkan diri" ucap dokter kepadaku, aku pun bertanya "sebenarnya ada apa denganku dok? aku merasa tidak dapat menggerakkan badanku sepenuhnya, tulangku terasa ngilu dan kakiku sepertinya susah digerakkan terutama kaki kananku" dokter pun terdiam dengan perlahan dia menjelaskan kepadaku dan dia berkata "maafkan kami pak, mungkin itu efek dari kecelakaan yang kemarin bapak alami, yang mengharuskan kami untuk mengambil langkah untuk amputasi kaki sebelah kanan bapak" ucap dokter kepadaku, aku pun hanya bisa menangis dan meratapi nasib anak-anakku. "Ayah jangan menangis" ucap Ahmad anak ke-6 kepadaku.

"Ayah kami disini bersamamu" (sambil menghapus air mataku) ucap Ratih anak ke-5 ku.

Kemudian Bayu anak ke-2 ku berkata "Ayah tak perlu cemas, jangan pikirkan adik-adik, mulai sekarang mereka akan belajar untuk bisa mandiri tanpa Ibu disamping mereka, kami semua sudah tau kalau Ibu pergi dari rumah, selama Ayah sakit adik-adik belajar mandiri untuk bisa membereskan rumah, berkemas untuk pergi ke sekolah, dan yang menjaga adik-adik yang masih kecil masih ada kak Rika, dia yang memasak buat makan siang dan makan malam mereka, aku pun berjanji akan selalu membantu Ayah dalam menafkahi keluarga kita, meskipun aku sudah menikah, Ayah harus bisa tetap semangat menjadi Ayah terbaik bagi kami, harus tetap tegar buat kami semua, kami sangat berterima kasih pada Ayah, kami tak kan pernah malu menjadi anak Ayah, meskipun Ayah mencari rezeki dengan mengumpulkan barang bekas dan kardus-kardus diluar sana untuk bisa Ayah jual, agar kami bisa sekolah dan makan, kami sangat bersyukur punya Ayah yang memberikaj nafkah yang halal buat kami"

kemudian anak-anakku berkumpul dan memelukku dengan erat. " ya Allah, aku bersyukur punya anak seperti mereka, aku bersyukur punya cahaya hatiku, yang mampu membuatku tetap semangat menjalani apa pun cobaan dalam hidupku, cahaya hatiku anak-anak yang aku cintai dari wanita yang aku cintai, dan aku tak pernah menyesal menikah dengan seorang wanita yang melahirkan anak-anak hebatku, cahaya hatiku, meskipun istriku pada akhirnya telah meninggalkanku dan seluruh cahaya hatiku"
     
Writed by N. Yahya

Related Posts:

BIARKAN AKU YANG PERGI

Malam yang sejuk mengiringi kesepianku. Angin malam turut membelai lembut rambutku. Menemaniku yang tengah sendiri menatap indahnya bumi. Sebagai teman paling setia dikesendirianku dalam ketidakadilan ini.
“Oh Tuhan, kapan semuanya akan berubah?” tanyaku dalam pengharapan.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dengan cukup pelan.
“pasti bi Imah.” Tebakku
“iya, sebentar!” sahutku sembari berjalan dari serambi kamar.
“Maaf non, waktunya makan malam. Yang lain sudah ngumpul dibawah.” Ucap Bi Imah saat pintu kamarku terbuka.
“ok bi Luna juga udah lapeer banget.” Candaku padanya.
Bi Imah adalah seseorang yang merawatku sejak lahir. Bagiku, ia sudah seperti Ibu kandungku. Dirumahku, hanya Bi Imah yang peduli dengan keadaanku. Disaat aku sakit, hanya ia yang selalu repot menyiapkan obat, hanya ia yang selalu tahu betapa sedihnya aku disaat nilai raportku jauh dari nilai kak Rani. Hanya ia yang tahu betapa aku ingin seperti kak Rani, sauRani kembarku.
****

Biarkan Aku yang Pergi
“wah ada ayam bakar nih. Heem maknyus” ucapku seraya menduduki kursi favoritku.
“dasar gak sopan…” sindir Ayah padaku.
“makanya, jangan nyerocos aja dong jadi cewek.” Timpal kakakku, Virgo.
“iya Luna, kamu duduk dulu baru ngomong, kan ada Ayah sama ibu disini. Jadi sopan dikit Ra.” Tambah Kak Rani.
“iya Luna, betul tuh kata Rani. Contoh dia.” Tambah Ibu lagi.
“ok, aku pergi. Silahkan makan!!” ucapku dengan sinis.
Akupun bergegas naik menuju kamarku tanpa sedikitpun menyentuh makanan disana. Padahal sebenarnya maagku kambuh dan rasanya sangat perih. Tapi lebih perih lagi disaat aku tak pernah mendapatkan kasih sayang dari semua orang yang aku sayangi.
****

Matahari menjelma masuk kedalam kamarku yang pemiliknya masih tertidur lelap. Hingga aku terbangun karena silaunya sinar yang menerpa mataku.
“humh, udah pagi to” ucapku pada diri sendiri,

Aku bergegas mandi dan memakai pakaian sekolahku. Dengan aksesoris biru yang lengkap. Pagi ini, aku tak ingin sarapan. Aku hanya mengunjungi Bi Imah yang ternyata sedang menyiapkan bekal untukku.
“makasih ya Bi, Luna sayang Bibi.” Ucapku dengan tulus padanya
“iya non, Bibi juga sayangg banget sama non Luna, semangat ya Non sekolahnya.” Sahut bi Imah menyemangati.

Setibanya disekolah, aku segera menuju ruangan tempatku ulangan. Jadwal hari ini adalah matematika dan bahasa inggris. Pelajaran menghitung yang sangat menyebalkan untukku. Karena aku tak seperti kak Rani yang jago menghitung. Dugaanku tepat, soal kali ini susahnya minta ampun. Hingga kertas ulanganku hampir tak terisi. Namun kalau bahasa inggris, inilah kehebatanku. Semua soal dapat kukerjakan dengan mudah. Karena sejak kecil aku sudah sangat hebat berbahasa inggris. Seperti Om Frans dan Tante Siska yang semasa di Medan sangat menyayangiku jauh lebih besar dari orang tua kandungku. Namun kini mereka telah pindah ke Amerika dengan anaknya, Dimas.
****

Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Luna berbeda kelas dan sekolah. Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar. Kalau kak Rani sengaja Ayah sekolahkah di sekolah terfavorit di Medan, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami. Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Rani dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.
“Pa, ambilin raport Luna ya.” Pintaku
“Ayah sudah janji sama Rani kalau Ayah yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.
“ibu, ambilin raport Luna ya!” pintaku lagi pada ibu.
“ibu udah janji sama Virgo ngambilib raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab ibu.
“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.

Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Imah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.
“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran
“Non Luna juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.
“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Rani.
****

Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Rani dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Imah.
“gimana hasilnya Ra?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.
“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.
“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Rani.” Ledek Ayah padaku.

Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini. Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Imah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar. Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.
“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku

Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Medan untuk berlibur bersama keluarga kami.
“Dimas? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.
Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku. Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku. Aku sendirian dirumah, bi Imah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.
****

Aku hanya makan dan terus memasukkan roti berselai srikaya kemulutku. Sedangkan yang lain asyik berbincang-bincang dengan topic kak Rani dan Dimas. Yang aku tahu, mereka terus membanggakan dua orang yang berprestasi tersebut. Hingga Om Frans dan Tante Siska juga turut berubah padaku. Semua orang mengucilkanku disini. Sesudah sarapan pagiku habis, aku segera pamit menuju taman belakang yang ternyata disana ada kak Rani dan seseorang yang sangat aku sayangi, kak Dimas. Disana, aku sedang melihatnya memberikan setangkai mawar pada kak Rani. Ternyata mereka sudah jadian dan aku tahu, bahwa kak Dimas telah melupakanku.
****

Akhirnya, hari yang telah lama kunantikan tiba juga. Hari ini, pertandingan karateku akan berlangsung. Namun sayang, semua orang yang kusayang tak ada yang mau hadir disini. Semuanya memilih hadir dilomba kak Rani, olimoiade sains. Walau sedikit kecewa, akan kubuktikan bahwa aku adalah Luna yang hebat. Keinginanku terwujud, aku menang dan meraih juara satu dipertandingan karate nasional yang diadakan di Medan.
“kita panggil, juara nasional karate tahun ini. AlLunaya Zivanna dari Medan.” Panggil pembawa acara.
Dengan diiringi tepuk tangan meriah, ku naiki podium kebesaranku, dan kurasakan aku sangat dihargai disini.
****

Setibanya dirumah, kuletakkan foto keberhasilanku diruang tamu, namun disaat kedatangan kak Rani dan yang lainnya, kulihat kemurungan disana. Dan setelah melihat foto keberhasilanku, kak Rani malah menangis dan berlari menuju kamarnya.
“kamu sengaja meledek Rani?” Tanya Ayah dengan sinis.
“gak pa! maksud Ayah apa sih?” tanyaku tak mengerti.
“Rani kalah sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu diruang ini. kamu tahu kan bahwa diruang ini hanya foto-foto keberhasilan Rani yang boleh menempatinya.” Jawab Ayah yang membuatku sangat kecewa.
“Lepas Fotomu!” ucap ibu dengan agak ketus padaku.

Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri disetiap kak Rani dipuji dan disanjung oleh Ayah dan ibu, serta semua tamu yang pernah berkunjung kerumahku. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,
“apakah aku anak kandungmu ibu? aYah?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.
****

Hari demi hari terus berganti, dan semenjak itu pula kak Rani menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah diolimpiade. Yang kutahu, sauRani kembarku ini terlihat lemah dari yang biasanya.
“Udahlah kak, gak ada gunanya ditangisin terus.” Ucapku menyemangati.
“udahlah Ra, kamu senang kan ngeliat aku kaya gini? Kamu senang kan ngeliat aku kalah?” jawabnya dengan menangis.
“gak ka, gak. Aku gak pernah ada niatan kaya gitu.” Sahutku.
“udahlah, pergi kamu dari kamarku, pergi…” ucapnya terpotong karena akhirnya ia terjatuh tepat didepanku.
“yah, bu, tolong kak Rani. Kak Rani pingsan yah!” beritahuku
“apa? Kamu apain sih dia?” Tanya Ayah sinis padaku.
“aku, aku gak ada ngapa-ngapain dia yah.” sahutku dengan menyembunyikan kesakitanku.
“pasti penyakitnya kambuh lagi yah, ayo cepat kita bawa kerumah sakit.” Ucapku pada Ayah.
****

Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahunku dengan kak Rani. Aku takut kehilangannya, sauRani kembarku yang sangat aku sayangi. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Yang aku tahu, kini ginjalnya hanya satu setelah setahun yang lalu satu ginjalnya sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.
“hanya sauRani kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Rani. Jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal Pak” beritahu dokter pada Ayah.

Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi kak Rani. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjalku padanya. Niatku memang sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku pada kak Rani, tapi aku tak ingin ada yang tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada sauRaniku. Aku hanya ingin kasih sayang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.
“ah sudahlah Luna, kamu memang sauRani yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang baik hati yang mau menyumbangkannya pada Rani.” Ucap Ayah
“aku kecewa sama kamu Luna, tega ya kamu sama kakak kamu sendiri.” Ucap Dimas dengan kecewa padaku.
“siapa yang mendonorkan ginjalnya yah?” Tanya kak Virgo.
“entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Rani. Dia benar-benar berhati malaikat.” Jawab Ayah.
“andaikan kalian tahu kalau itu aku? Apakah aku akan diberi penghargaan dari Ayah?” gumamku dalam hati.
****

Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya, aku sudah sangat lelah dengan hidupku sendiri. Sesudah selesai ku tulis, surat itu kutitipkan pada Bi Imah. Akupun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.

@ ruang operasi
Ruang ini tersasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu keruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan kak Rani dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.
****

Seminggu kemudian. . . .
“akhirnya kamu sembuh juga sayang. ibu khawatir banget sama kamu sejak kamu dioperasi. Untung ada pendonor itu.” Ucap ibunya dengan penuh kasih sayang.
“Dan Happy Brithday Rani…” ucap semua orang serentak
“Makasih ya semuanya. Aku senanggg banget. Oya, Luna mana ya Ma? Gak tau kenapa Rani kepikiran dia terus. Hari ini kan ulang tahun kami” Sahut Rani.
“iya ya? Mana dia Bi?” Tanya Ibunya pada Bi Imah
“Sebentar nyonya.” Jawab Bi Imah dengan berlari menuju kamar Rani.

Dan beberapa menit kemudian sudah tiba dengan membawa sepucuk surat.
“ini surat dari Non Luna sebelum pergi.” Beritahu Bi Imah.
Walau agak heran, Ibunya pun membacanya dengan agak keras.
Untuk semua orang yang sangaaat Luna sayang
Mungkin saat kalian baca surat ini Luna gak ada lagi disini. Luna udah pergi ketempat yang saangaat jaauh. Oya, gimana kabar kak Rani? Gak sakit lagi kan? Semoga ginjalku dapat membantumu untuk meraih semua mimpi-mimpimu yang belum terwujud.

Teruntuk Ayah yang SANGAT KURINDUKAN
Gimana yah? rumah kita udah tenang belum? Gak ada yang gak sopan lagi kan? Oh pasti gak ada dong ya? Ya iyalah, Luna si pembuat onar kan udah gak ada.

Teruntuk ibu yang SANGAT-SANGAT KU RINDUKAN
Ma, Luna pasti akan sangat rindu dengan teddy bear pemberian ibu lima tahun yang lalu. Ma, Luna kangeeen banget pelukan ibu. Luna selalu iri saat ibu hanya mencium kak Rani disaat ia tidur. Luna iri melihat ibu yang selalu menyemangati kak Rani disaat ia sedang sedih. Luna iri dengan semua perhatian yang ibu berikan pada kak Virgo dan kak Rani. Luna sangaat iri.

Teruntuk KAK VIRGO dan sauRani kembarku, Rani
Gimana kak, gak ada lagi kan yang ganggu kalian belajar? Gak ada lagi kan yang nyetel music keras-keras dikamar? Pasti rumah kita tenang ya, pastinya gak akan ada lagi yang akan membuat kalian malu karena punya sauRani yang bodoh bukan? Oh, pastinya. Oya, SELAMAT ULANG TAHUN YA KAK, SELAMAT MENJALANI UMURMU YANG KE-17 TAHUN. Yang mungkin takkan pernah aku rasakan.

Kalian semua harus tau, betapa AKU SANGAT MENYAYANGI KALIAN. Mungkin dengan kepergianku, smeuanya akan tenang dan rumah kita menjadi tentram. Luna harap, gak aka ada lagi yang terkucilkan seperti Luna. Yang selalu menangis setiap malam. Yang selalu merindukan hangatnya kekeluargaan. Mungkin dengan kepergian ini, aku akan tahu bagaimana kalian akan mengenangku, seperti akuyang selalu mengenang kalian setiap malam dengan tangisan. . . Semoga KALIAN SEMUA BAHAGIA TANPA Luna, AAMIIN.
Salam rindu penuh tangis bahagia

AlLunaya Zivanna
Semua yang mendengar menangis. Mereka bertanya-tanya pada Bi Imah dimana Luna. Namun tiba-tiba telepon rumah berbunyi..
“iya, saya Hermawan, ada apa ya?” Tanya Ayahnya dengan penasaran.

Dan sesaat kemudian Ayahnya menangis dan segera mengajak anggota keluarganya ke Rumah sakit. Dan mereka terlambat, Luna telah pergi untuk selama-lamanya. Dan menginggalkan berjuta penyesalan disetiap tangis yang jatuh. Kini, ia telah tenang dan jauh dari ketidakadilan selama hidupnya. Walau air mata tengah menangisinya yang telah pergi untuk selama-lamanya. . .
The End

Related Posts: