Tangisan Ibu

15 tahun yang lalu, aku terpaksa pergi meninggalkan rumah, meninggalkan mereka yang aku cintai, meninggalkan anak dan suamiku. Dengan hati yang berat aku pergi merantau ke negeri singapore, disanalah aku mencari nafkah dan memulai kehidupan yang baru.

Sangat sulit ku rasakan hidup tanpa keluargaku disini, aku hidup sendiri, tak seorang pun yang aku kenal disini, tapi aku harus semangat, mengingat anak-anakku yang butuh banyak uang untuk biaya kelangsungan sekolah mereka, aku ingin anakku punya pendidikan yang layak, sehingga mereka bisa berkarir dan menggapai cita-cita mereka, dengan penghasilan suamiku yang hanya sebagai penarik becak, kami tidak dapat memberikan pendidikan sampai ke jenjang universitas ternama disana, karena itulah aku harus membantu suamiku untuk mencari uang.

Setelah aku bekerja disini, ku jalani dengan ikhlas pekerjaanku, awalnya berat, tapi tiap kali ku ingat mereka yang jauh disana, semangatku bangkit kembali. Hari berganti minggu, bulan dan tahun, ya tak terasa ternyata sudah 5 tahun aku bekerja disini, aku merasa bangga, karena aku yakin anakku yakub, anak pertamaku kini sudah lulus sekolah, dan dia akan masuk ke universitas yang dia inginkan, sementara yani, kini dia memasuki sekolah SMA.

Setiap bulannya aku selalu mengirimkan separuh gajiku ke rekening suamiku, untuk biaya sekolah anak-anak disana, dan sekali-sekali, jika ada waktu senggang, aku selalu berkirim surat ke mereka, tapi hatiku sangat bingung, entah kenapa 1 kalipun mereka tak pernah membalas surat dariku, tapi hal itu tidak membuatku putus semangat untuk mengirimkan uang ke mereka.

Tiba-tiba aku bertemu dengan tetanggaku, dia baru saja diterima sebagai karyawan baru di perusahaan tempat aku bekerja, aku sangat terkejut dan aku sangat senang, akhirnya aku bisa sedikit bertanya kepadanya tentang keadaan anak dan suamiku di kampung sana.

"Hai mirna, gimana kabarmu? Aku tak menyangka, kita akan bertemu disini." Ucapku.

"Hai dinda, aku juga terkejut, ternyata kau ada disini rupanya, kenapa kau tak pernah ada kabar? Selama ini kau kemana aja, kasihan anak-anakmu, semenjak kepergianmu mereka terus mencarimu, sampai mereka bosan sendiri, dan sekarang sudah tak pernah bertanya-tanya lagi tentangmu, justru sekarang setiap kali membahas tentang ibu mereka, anak-anakmu tak ingin menjawabnya, bahkan tak ingin mendengar sebutan ibu mereka." Ucap mirna (merasakan sedih).

"Masyaallah, kenapa anak-anakku begitu, aku selalu mengirim kabar ke mereka, bahkan setiap bulannya aku selalu berkirim surat ke mereka, sejak awal aku bekerja disini, aku selalu kirim surat, tapi suratku tak kunjung 1 kalipun mereka balas, aku pun bingung dan bertanya-tanya." Ucapku.

Seketika mirna menunduk dan sedikit menghela nafas, ada sesuatu yang ingin diucapkannya tapi dia takun membuatku justru menjadi kecewa dan sedih, biar gimana pun aku dan mirna sudah menjadi tetangga dekat, semenjak kami menetap disana.
"Dinda, aku benar-benar minta maaf, tak sewajarnya aku menyampaikan ini, tapi ada hal yang perlu kau ketahui, apa sebab anakmu bersikap seperti itu, awalnya aku tidak tau, sekarang aku bisa mengerti dan bisa menjawab sendiri pertanyaanku tentangmu selama ini, setelah aku bertemu langsung denganmu." Ucap mirna.

"Apa itu mir? Katakan saja padaku, sebab aku ingin tau apa yang terjadi dengan keluargaku disana, karena mereka tak kunjung memberi kabar, aku disini bekerja keras untuk biaya pendidikan anak-anakku, tiap bulan aku kirim uang dan kirim surat ke mereka, hatiku sedih, seolah mereka tak mengingatku lagi." Ucapku.

"Din, semenjak kau pergi tanpa pamit dengan suami dan anakmu, anak-anakmu selalu mencarimu, setiap hari mereka datang kerumahku menanyai kabar tentangmu, apakah kau menelponku, atau kau kirim surat padaku, mereka lakukan itu selama 2 tahun, sampai mereka beranjak dewasa dan bosan sendiri menanyai pertanyaan yang tak kunjung ada jawabannya, sementara suamimu, 1 tahun sepeninggalanmu dia buka usaha grosir di kampung, usahanya berjalan dengan lancar, kami pun heran darimana dia mendapatkan modal, dia mengaku meminjam uang pada bank, tapi kami tak begitu yakin dengan jawaban suamimu, dan bukan hanya itu, dia sekarang sudah menikah lagi, dan kini punya 1 orang putri dari istri keduanya itu, semenjak menikah, anak-anak dan suamimu hidup terpisah, sebab anakmu tak rela punya ibu baru, dan istri kedua suamimu tak pernah pedulikan mereka, karena hidup keras mandiri jauh dari ayah dan ibu mereka, membuat mereka menjadi anak yang tumbuh kuat, mereka pulang sekolah bekerja separuh waktu di cafe untuk kehidupan mereka, sekali-sekali mereka datang kerumahku sambil bercerita, mereka mampu hidup mandiri membiayai semua kebutuhan hidup mereka, sebab kedua orang tua mereka tak mengingkan mereka, semenjak suamimu menikah lagi, tak sedikit pun dia menafkahi anak-anakmu lagi." Ucap mirna.

Hatiku tersentak, kaget dan aku pun menangis mendengar kenyataan itu, kenapa begitu perih hatiku saat ini, aku selalu memikirkan suamiku, kenapa mereka tega melupakanku, dan suamiku, aku tidak menyangka dia menyalahgunakan kepercayaanku.

"Aku tidak tau harus berkata apa lagi, satu yang aku inginkan saat ini, aku ingin memberitahukan kenyataan yang sebenarnya kepada anakku, mengenai suamiku, aku sudah tidak peduli lagi, terserah dia mau berbuat apa, tapi aku gak ingin kehilangan cinta dari anak-anaku." Ucapku sambil menangis.

"Begini saja, aku punya solusi, kamu kirim surat saja ke alamat rumahku, anakku akan memberikannya kepada mereka, sebab anakku dan anakmu masih sering bertemu dan bermain bersama." Ucap mirna.

Aku pun menyetujui akan saran mirna, aku tulis surat, isi hatiku pada mereka, dan alhamdulillah mereka membalas suratku, aku menangis meratapi semuanya, tapi kini aku telah berkumpul kembali dengan mereka, 15 tahun aku merantau, aku dapat membangun rumah buat kami tinggal, sementara suamiku, kehidupannya seperti sediakala, sebab aku tak lagi mengirimkan uang padanya. Kini tangisan 15 tahun itu, sudah ditebus dengan air mata kebahagiaan, tinggal bersama anak-anakku, dan kini mereka sudah menikah, dan akupun sekarang sudah memiliki cucu.


Writter by N. Yahya

Related Posts:

0 Response to "Tangisan Ibu"

Post a Comment