Cahaya Hatiku

       Teriknya siang matahari hari demi hari aku selalu hadapi, namun tidak pernah membuatku berhenti untuk berjuang menafkahi anak dan istriku, mereka lah salah satu alasan untuk aku tetap harus lebih semangat mencari rezeki.

"Ayah...Ayah...Ayah..." terdengar dari kejauhan suara anakku Revan memanggil.

"Ya nak, ada apa? kenapa revan tergesa gesa dan cemas seperti ini?" tanyaku kepada Revan. 

Lalu Revan menjawab "Ayah cepat pulang, ibu sepertinya sudah mau melahirkan" mendengar hal itu aku dan Revan pun segera berlari menuju rumah, dan sesampainya dirumah aku sudah melihat istriku sedang kesakitan, disekujur tubuhnya keluar keringat yang sudah membasahi tubuhnya, dan sedikit darah sudah keluar hingga mengalir ke kakinya, hatiku cemas tak karuan, meskipun ini adalah kelahiran anakku yang ke 8 (delapan) namun tetap saja aku masih merasa gugup setiap kali istriku melahirkan, bergegas aku segera membawa istriku ke bidan terdekat.


    Sekitar kurang lebih 1 jam terdengar suara tangisan bayi di dalam ruangan tempat istriku melahirkan anak kami, sujud syukurku akhirnya anakku lahir dengan selamat dan sehat, alhamdulillah anakku laki-laki, tak lama kemudian aku pun lalu mengadzani anakku, hati sangat senang, begitu pun dengan anak-anakku yang lainnya, namun entah apa yang terjadi tak sedikit pun aku melihat senyuman dari wajah istriku. 3 hari telah berlalu, setelah istriku melahirkan, aku membawa anak dan istriku kembali kerumah, dan berbagai banyak obat yang harus ku tebus untuk resep pengobatan istriku, jujur saja aku tak sanggup membayar rawat inap istriku yang seharusnya menurut dokter dia harus dirawat selama 1 minggu, dengan dana secukupnya ditambah dengan sedikit bantuan dari tetangga sekitar yang selalu memberikan bantuan kepadaku, aku bisa menebus biaya pengobatan dan rawat inap istriku.

Akan tetapi masih tetap saja aku tak melihat adanya sedikit senyuman dari istriku.

    Hari demi hari, waktu pun terus berlalu, tak terasa waktu sudah 2 minggu berlalu, namun masih saja ku lihat istriku yang bersedih, aku tidak tau apa yang ada dipikiran istriku, perlahan aku mencoba dekati istriku, dan bertanya padanya ada hal apa yang membebani pikirannya. "Bu, ada apa denganmu? belakangan ini Ayah selalu lihat ibu bersedih, jika ada masalah katakanlah, kita akan coba selesaikan bersama-sama." Tanyaku, namun istriku tak menjawabnya, dia hanya memberikan jawaban dengan senyuman kecil di bibirnya. "Baiklah bu, jika ibu tak ingin menceritakan apa pun, Ayah pamit pergi kerja dulu, doakan Ayah supaya dapat rezeki yang lebih hari ini, untuk kita dan anak-anak bu" ucapku. Aku pun pergi meninggalkan rumah untuk mencari rezeki yang halal buat keluargaku, tak lupa aku ucapkan Bismillah di setiap langkahku, agar Allah selalu meridhoi langkahku, dan memberikan rezeki yang halal kepadaku.
    
Dari pagi pukul 8 sampai malam pukul 9 aku baru selesai mencari rezeki, akan tetapi sesampainya aku dirumah, aku mendengar anakku menangis, bukan hanya si bayi, tapi seluruh anakku menangis aku terkejut dan heran, tapi mereka berkata kepadaku mereka lapar dan belum ada makan sedikit pun dari siang tadi, karena ibu mereka sedang pergi entah kemana dan tak kunjung pulang, dan si bayi popoknya belum terganti, nangis terus, maklum saja anakku masih terlalu kecil untuk bisa menjaga seorang bayi, karena usia anakku yang ke-3 masih 12 tahun, yang ke-4 10 tahun, ke-5 8 tahun, ke-6 6 tahun, ke-7 4 tahun, sedangkan anakku yang pertama dan kedua, mereka sudah menikah dan tidak tinggal bersama kami lagi.

Aku segera masak makan malam seadanya, mendadarkan beberapa telur, untuk mereka makan, aku mengganti popok si bayi, namun aku menemukan surat disamping bantal si bayi "untuk Ayah (suamiku) sebelumnya Ibu minta maaf, karena tak dapat bertemu langsung dengan Ayah, Ibu pergi meninggalkan rumah, jujur saja Ibu tak sanggup tinggal bersama lagi, dari kita menikah tak pernah sedikit pun Ibu merasakan kebahagiaan dalam hidup, apa lagi semenjak kita memiliki banyak anak, semakin banyak beban biaya yang harus Ibu pikirkan, jujur ibu tak sanggup kembali lagi hidup bersama dengan Ayah, yang terus-terusan hidup dengan penuh kesusahan. Wassalam Ibu" setelah membaca surat itu, hatiku sangat sakit bagaikan pisau yang sangat tajam menusuk langsung ke arah jantungku, aku berlari dan terus berlari sambil berteriak memanggil istriku, namun tak kunjung aku temui istriku itu, kepalaku terasa sakit, dadaku terasa sesak, dari pagi aku belum makan, badanku lemas, seketika aku pun terserempet oleh mobil truk yang laju dengan sangat cepat.

    "Dimana aku? kepalaku terasa sangat sakit, tulangku terasa ngilu sekali, dimanakah aku?" Tanyaku.
Kemudian rika anak pertamaku berkata, "Ayah sudah sadar? Alhamdulillah, aku segera panggil dokter dulu" tak lama kemudian dokter pun datang menghampiriku dan memeriksa kesehatanku.
"Syukurlah bapak sudah siuman, sejak bapak kecelakaan kemarin, 1 minggu bapak tak sadarkan diri" ucap dokter kepadaku, aku pun bertanya "sebenarnya ada apa denganku dok? aku merasa tidak dapat menggerakkan badanku sepenuhnya, tulangku terasa ngilu dan kakiku sepertinya susah digerakkan terutama kaki kananku" dokter pun terdiam dengan perlahan dia menjelaskan kepadaku dan dia berkata "maafkan kami pak, mungkin itu efek dari kecelakaan yang kemarin bapak alami, yang mengharuskan kami untuk mengambil langkah untuk amputasi kaki sebelah kanan bapak" ucap dokter kepadaku, aku pun hanya bisa menangis dan meratapi nasib anak-anakku. "Ayah jangan menangis" ucap Ahmad anak ke-6 kepadaku.

"Ayah kami disini bersamamu" (sambil menghapus air mataku) ucap Ratih anak ke-5 ku.

Kemudian Bayu anak ke-2 ku berkata "Ayah tak perlu cemas, jangan pikirkan adik-adik, mulai sekarang mereka akan belajar untuk bisa mandiri tanpa Ibu disamping mereka, kami semua sudah tau kalau Ibu pergi dari rumah, selama Ayah sakit adik-adik belajar mandiri untuk bisa membereskan rumah, berkemas untuk pergi ke sekolah, dan yang menjaga adik-adik yang masih kecil masih ada kak Rika, dia yang memasak buat makan siang dan makan malam mereka, aku pun berjanji akan selalu membantu Ayah dalam menafkahi keluarga kita, meskipun aku sudah menikah, Ayah harus bisa tetap semangat menjadi Ayah terbaik bagi kami, harus tetap tegar buat kami semua, kami sangat berterima kasih pada Ayah, kami tak kan pernah malu menjadi anak Ayah, meskipun Ayah mencari rezeki dengan mengumpulkan barang bekas dan kardus-kardus diluar sana untuk bisa Ayah jual, agar kami bisa sekolah dan makan, kami sangat bersyukur punya Ayah yang memberikaj nafkah yang halal buat kami"

kemudian anak-anakku berkumpul dan memelukku dengan erat. " ya Allah, aku bersyukur punya anak seperti mereka, aku bersyukur punya cahaya hatiku, yang mampu membuatku tetap semangat menjalani apa pun cobaan dalam hidupku, cahaya hatiku anak-anak yang aku cintai dari wanita yang aku cintai, dan aku tak pernah menyesal menikah dengan seorang wanita yang melahirkan anak-anak hebatku, cahaya hatiku, meskipun istriku pada akhirnya telah meninggalkanku dan seluruh cahaya hatiku"
     
Writed by N. Yahya

Related Posts:

0 Response to "Cahaya Hatiku"

Post a Comment